Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnya

Tanda-tanda harus rehat sejenak dari julid dan gibah

Apa sih tujuan dari media sosial? Sosial berarti sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Manusia makhluk sosial (homo socius) sehingga tidak mungkin bagi manusia untuk hidup sendirian saja. Sedangkan media adalah perantara atau penghubung. 

Jika digabungkan, tujuan media sosial adalah alat yang menghubungkan sesama manusia agar dapat berkomunikasi tanpa perlu takut oleh jarak, waktu, dan keadaan.

Namun akhir-akhir ini, yang terjadi adalah media sosial malah disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, misinformasi, hingga gosip yang belum tentu kebenarannya. Dari menyambungkan tali silaturahmi, dua pihak bisa saling beradu hanya karena misinformasi yang belum jelas kebenarannya.

1. Kenapa kamu marah?

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta SainsnyaFreepik/drobotdean

Pada dasarnya, marah adalah hal yang normal. Justru, jika kamu tidak pernah marah, itu hal yang tidak normal.

Menurut Dr. Nadja Heym, dosen jurusan psikologi di Nottingham Trent University, kemarahan adalah intuisi perlindungan saat seseorang terancam bahaya, terpojokkan, atau diprovokasi.

Untuk mengendalikan emosi marah yang berhubungan dengan bagian amigdala pada otak, otak manusia juga diciptakan dengan korteks orbitofrontal untuk membantu pengambilan keputusan, dan lobus frontal untuk memantau dan mengatur emosi kita.

Tetapi kedua sistem ini dapat mengalami kendala, sehingga kemarahan jadi tidak terkontrol. Selain dikarenakan warisan genetis, seseorang tetapi juga dipelajari melalui contoh (seperti tumbuh dalam keluarga yang broken home) atau manajemen emosi yang buruk.

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyapexels.com/Pixabay

Tidak marah seumur hidup? Rasanya mustahil. Pasti ada saja yang membuat kita marah dan itu hal yang manusiawi! Namun, berlarut-larut tenggelam dalam amarah hingga sakit hati? Itulah meningkatkan risiko amarah melewati batas hingga menjadi perilaku kasar.

"Adalah hal yang wajar untuk menyalurkan kemarahan Anda sampai batas tertentu, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa intens dan seberapa sering kemarahan tersebut muncul, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar amarah tersebut reda," papar Heym.

Saat marah, tubuh kita mengalami mekanisme fight or flight. Hal tersebut membuat jantung berdebar-debar dan perasaan tidak karuan.

Maka dari itu, harus dilepaskan. Terkadang ada yang memukul, melempar benda, atau berteriak. Yang jadi masalah adalah, jika memukul, melempar benda, atau berteriak menjadi solusi marah.

Selain itu, Heym mengingatkan bahwa terus-terusan marah dan mengingat penyebabnya juga bukan solusi.

2. Kemarahan yang semakin meningkat

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyapexels.com/David Garrison

Frekuensi marah dengan frekuensi meluapkan kemarahan secara umum adalah dua hal yang berbeda di sini.

Menurut sebuah laporan dari Gallup bertajuk "Gallup 2019 Global Emotions Report" yang mengamati pola emosi sekitar 151 ribu partisipan di 140 negara, ternyata semakin banyak masyarakat yang marah. Gallup mencatat angka rata-rata emosi negatif global sebesar 22 persen.

Persentasi emosi negatif tertinggi terlihat di kalangan masyarakat yang negaranya tengah dilanda peperangan seperti Irak (43 persen) dan Palestina (44 persen).

Terlebih lagi di masa saat ini, di mana internet sudah berkembang begitu pesat. Psikolog sekaligus penulis, Dr. Aaron Balick, mengatakan bahwa kemarahan dapat dengan mudah dan cepat "tertularkan" kepada orang lain.

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyailustrasi protes (Pexels/Life Matters)

Dulu, orang-orang memegang konsep untuk tidak meluapkan amarah di depan umum karena hal tersebut memalukan. Namun, masa kini, sejarawan asal Loyola University Chicago, Profesor Emerita Barbara H. Rosenwein, mengatakan,

"(Kemarahan) telah digeneralisasikan dan semua orang berhak meluapkan amarah mereka."

Di sini bisa terlihat perubahan nilai moral yang cukup signifikan.

Apa pun yang penyebab kemarahanmu, mengekspresikan kemarahan sekarang dianggap sebagai suatu perbuatan yang berani, pernyataan pendapat, dan bentuk superioritas moral.

Tetapi kemarahan itu selalu produktif? Jika iya, ya, lebih baik marah terus. Jika tidak, maka sudah seharusnya kita mengendalikan amarah kita.

Baca Juga: Tahukah Kamu? Ini Tahap-tahap Terbentuknya Persahabatan secara Ilmiah

3. Apakah itu salah media sosial?

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyailustrasi marah kepada media sosial (Pexels/Alex Green)

Masa kini, hampir semua orang telah terkoneksi dengan internet. Maksudnya, mereka memiliki akun-akun media sosial untuk mengikuti perkembangan dunia.

Akan tetapi, dengan akses media sosial yang tak terbatas, segala hal dalam diri kita (batasan, nilai, dan identitas) dapat diserang setiap kali kita membuka media sosial kita. Saat berkomentar atau mengunggah sesuatu, terdapat dua kemungkinan, diterima dengan baik atau malah dirundung.

Oleh karena itu, selain menghubungkan umat manusia, media sosial juga membuat orang-orang semakin cepat marah.

"Bisa dikatakan, semua orang tengah merasakan kemarahan yang kronis," kata Balick.

Balick kemudian mengibaratkan memainkan media sosial sama seperti dengan mengemudikan sebuah kendaraan.

"Jika kamu sedang banyak pikiran, jadi jika seseorang mengerem mendadak, kamu pasti cenderung ingin berteriak keluar jendela. Sedangkan jika kamu dalam kondisi yang relatif tenang dan hal yang sama terjadi, kamu memiliki kesabaran untuk membiarkannya berlalu."

Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang memainkan media sosial. Orang-orang yang terpapar pada sebuah konten media sosial yang negatif, cenderung sulit untuk menahan kemarahan mereka juga. Namun, apakah media sosial memang dirancang seperti itu?

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyailustrasi marah (Pexels/Sora Shimazaki)

Bagaimana pun juga, sosial media hanyalah sebuah "perpanjangan" dari apa yang terjadi di dunia nyata. Berita dan konten pada media sosial hanyalah isi dari media sosial yang menyampaikan informasi dari dunia nyata. Namun, apa yang terkandung di dalamnyalah yang menyulut emosi para penggunanya.

Contoh paling umum adalah di saat topik politik bergabung dengan agama, atau topik di mana kemanusiaan ditelantarkan. Terlebih saat kamu membaca komentar-komentarnya yang terkadang membuatmu geleng-geleng kepala.

"Dalam beberapa kasus, [media sosial] dapat menjadi akselerator yang meningkatkan kemarahan, frustrasi, dan perpecahan yang sudah ada," ujar Balick.

4. Cara umum meluapkan kemarahan di media sosial

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyailustrasi berkomentar di media sosial (Pexels/cottonbro)

Lalu, bagaimana seseorang meluapkan kemarahannya di media sosial? Dikarenakan akses yang tak terbatas yang mendorong inovasi pada setiap orang, tidak ada lagi yang namanya "rahasia" di media sosial. Semua orang tahu semua hal.

Oleh karena itu, salah satu cara yang paling sering dilancarkan adalah dengan cara membuat akun anonim. Akun ini sengaja dibuat untuk melancarkan serangan tanpa takut dibongkar identitasnya.

Dalam bukunya yang berjudul "The Psychodynamics Of Social Networking", Balick menjelaskan bahwa anonimitas adalah bagian besar dari meluapkan kemarahan di dunia maya. Menurut penelitiannya, pengguna akun anonim lebih banyak ditemukan di Twitter daripada Facebook.

"Seseorang cenderung lebih mudah meluapkan kemarahan di dunia maya jika memiliki akun anonim," katanya.

Oh, hal ini bukan tanpa sebab. Konsep anonimitas membuat seseorang berpikir bahwa mereka bisa luput dari segala tekanan sosial atau hukuman selama mereka tidak diketahui.

Salah satu contoh menarik hubungan anonimitas dan perilaku kasar ditunjukkan dalam eksperimen oleh seorang profesor psikologi bernama Prof. Ed Diener pada 1976.

Dalam eksperimennya yang berjudul "Effects of deindividuation variables on stealing among Halloween trick-or-treaters", sebanyak 27 rumah di Seattle membiarkan anak-anak diperbolehkan mengambil uang dan permen dalam perayaan Halloween. Trick or Treat!

Sebelumnya, pemilik rumah meletakan semangkuk penuh permen dan semangkuk penuh uang logam. Mereka mengizinkan anak-anak untuk mengambil satu permen. Lalu, pemilik rumah pura-pura pergi. Sebuah lubang dibuat untuk mengintip anak-anak tersebut.

Hasilnya? Dalam penelitian tersebut, sebanyak 1.300 anak mengambil permen dan uang lebih dari yang diharuskan! Dibandingkan dengan yang datang sendiri, mereka yang datang secara bergerombol mencuri lebih banyak.

Mengutip eksperimen tersebut, Heym mengatakan bahwa orang yang bergerombol cenderung merasa lebih aman saat meluapkan amarah mereka. Mengapa? Mereka merasa bahwa hal yang mereka lakukan tidak salah karena yang bergerombol pun ikut, menciptakan "false sense of solidarity".

Jika diterapkan pada kasus media sosial, saat satu orang "diserang" oleh banyak orang, hal tersebut mendorong orang-orang untuk ikut menjerumuskan. Kembali lagi ke konsep "satu lawan banyak".

https://www.youtube.com/embed/5Qzz6m5HIwI

Pernah melihat video yang satu tersebut? Video yang diliput oleh Inside Edition tersebut diunggah oleh Marissa Rundell.

Dalam video tersebut, seseorang bernama Susan Peirez pertama kekeh ingin berganti tempat duduk pesawat karena tangisan bayi sambil menunjukkan perilaku superioritas. Namun, saat Tabitha, sang pramugari kesal dan meminta Peirez dikeluarkan dari pesawat, Peirez langsung takut dan memohon untuk tidak dikeluarkan.

"Perubahan sikap yang drastis, ya."

Rundell mengunggah video ini ke Facebook dan ditonton hingga 2 juta orang, belum lagi saat agensi berita dan berbagai akun YouTube ikut mengunggah videonya.

Hasilnya? Peirez yang katanya "bekerja untuk pemerintah" dan memang benar bekerja untuk New York State Council on the Arts, kehilangan pekerjaannya.

Kasus ini menunjukkan kekuatan yang menakutkan dari gelombang amarah di media sosial. Satu kicauan atau status yang dinilai salah akan di-retweet atau di-share diikuti dengan status hinaan lalu menjadi viral.

Dalam beberapa hari, orang yang bersangkutan sudah dikucilkan, sampai menerima ancaman kematian, atau kehilangan pekerjaan mereka. Dalam kasus ini? Peirez kehilangan pekerjaannya.

5. Solusi agar tetap tenang di media sosial

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyapexels.com/Andrea Piacquadio

Sama seperti berlarut-larut dalam amarah itu tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik kamu marah sebentar lalu setelah lega, kembali lanjutkan aktivitasmu.

Caranya? Sekali lagi, sama seperti orang yang mengerem mendadak di depanmu, kamu pastinya kesal dan ingin rasanya keluar dan melabrak orang tersebut, kan?

Heym mengingatkan, hal tersebut dapat dicegah. Sebelum kamu marah, coba atur napasmu dan lihat kejadian tersebut dari sisi yang lain. Dengan cara ini, kamu menjaga dirimu agar tidak kalap.

Contoh yang lebih ekstrem? Kamu sedang ingin memarkir mobil, tetapi tiba-tiba tempat parkir tersebut diserobot oleh orang lain?

"Kurang ajar!"

Di saat inilah kamu bisa mengaplikasikan teknik tersebut. Tarik napas dalam-dalam, buang. Lakukan hingga kamu tenang, dan barulah kamu bisa mengambil keputusan. Lihat dari sisi yang lain. Mungkin orang tersebut sedang buru-buru?

"Tunggu sebentar, atur pernapasanmu, dan lepaskan dirimu dari rasa frustasi tersebut. Baru, kamu bisa melihat kejadian tersebut dari sisi lain," tandas Heym.

Secara tidak langsung kamu melatih dirimu untuk peka pada keadaan.

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnyapexels.com/Andrea Piacquadio

Apakah hal tersebut berarti kita harus memendam emosi kita? Tidak! Heym mengingatkan bahwa memendam emosi terlalu lama dan terlalu sering tidak baik untukmu.

Jika satu status, foto, Story, atau cuitan membuatmu panas, jangan langsung berkomentar. Kamu bisa menyalurkan amarah tersebut dengan cara lain.

Contohnya? Berolahraga. Atau, jika kamu memang ingin meluapkan amarahmu, pukul bantal lebih baik daripada memukul orang.

"Lepas kendali hanya merugikanmu saja," tutup Heym.

Ingatlah bahwa rundungan dalam bentuk verbal memiliki dampak psikologis yang sama seperti rundungan fisik. Yuk, latih untuk mengendalikan diri lebih baik.

Baca Juga: Kamu Benci Pekerjaanmu? Secara Ilmiah Ini 7 Efeknya terhadap Tubuhmu

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono
  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya