8 Fakta Yi Deokhye, Putri Terakhir Kerajaan Korea yang Bernasib Tragis
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Terlahir sebagai seorang putri raja menjadi impian banyak gadis kecil. Membayangkan hidup di istana lengkap dengan pelayan dan segala hal terbaik membuat kehidupan seorang putri terdengar sangat sempurna. Kenyataannya, tidak semua tuan putri memiliki hidup yang bahagia layaknya kisah negeri dongeng.
Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Yi Deokhye, putri terakhir dari Dinasti Joseon, Kerajaan Korea. Alih-alih hidup bahagia selamanya, kehidupan sang putri justru sangat menderita di bawah tekanan Jepang. Dilansir History Of Yesterday, berikut delapan fakta Yi Deokhye, putri terakhir Kerajaan Korea yang berakhir tragis!
1. Deokhye merupakan putri dari seorang selir raja
Lahir pada 25 Mei 1912, Yi Deokhye merupakan putri bungsu dari Kaisar Gojong dan seorang selir bernama Yang Gu In. Terlahir dari seorang selir, membuat dirinya tidak bisa mendapatkan status yang sama dengan anak raja yang lain. Semua semakin buruk karena dia lahir di masa pendudukan Jepang.
Dua tahun sebelum kelahiran Deokhye, Kekaisaran Jepang mengambil alih Kerajaan Korea dan membuat gadis kecil ini kehilangan gelar. Tidak hanya itu, Jepang juga tidak mengakui sang putri karena status ibunya yang hanya seorang selir.
Ayahnya bahkan dilarang memberikan nama apa pun kepada putri bungsunya. Sang putri akhirnya mendapatkan nama "Yi Deokhye" pada tahun 1917, ketika dia sudah berusia 5 tahun.
2. Deokhye kecil dikenal sebagai putri yang cerdas
Meski terlahir dari seorang selir, Deokhye memiliki masa kecil yang cukup menyenangkan. Dia mendapatkan pendidikan terbaik di taman kanak-kanak yang dibangun khusus untuk dirinya sendiri. Dengan pendidikan terbaik, tidak heran jika sang putri tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Kecerdasan Putri Deokhye akhirnya menyebar ke seluruh Korea. Dia bukan hanya menjadi kesayangan anggota keluarga kerajaan, tetapi juga masyarakat Korea.
3. Nasibnya berubah drastis setelah kepergian sang ayah
Ketika Jepang menguasai Korea, mereka berusaha menjaga agar masyarakat tidak melakukan pemberontakan. Salah satu caranya adalah dengan bersikap baik kepada keluarga Kerajaan Korea. Sayangnya sikap manis Jepang itu berubah 180 derajat setelah kematian ayah Deokhye, Kaisar Gojong pada tahun 1919.
Sang putri kemudian dipindahkan ke sekolah dasar Hinodae di Seoul. Pada tahun 1925, ia yang kala itu baru berusia 13 tahun dipisahkan dari keluarganya. Menggunakan dalih melanjutkan pendidikan, Jepang mengirim sang putri ke negara mereka.
Di Negeri Sakura, Deokhye mengalami kesulitan beradaptasi di sekolah barunya. Kepergian ayahnya, dipisahkan dari keluarga, dan hidup di lingkungan yang benar-benar asing membuat sang putri berubah menjadi sosok yang pendiam dan tertutup.
4. Semua tekanan membuat sang putri menderita skizofrenia
Setelah bertahun-tahun diasingkan di Jepang, Putri Deokhye akhirnya diperbolehkan pulang kampung ke Korea pada tahun 1930 untuk menghadiri upacara pemakaman sang ibu. Namun kunjungan itu hanya berlangsung singkat. Segera setelah upacara pemakaman selesai, dia harus kembali ke Negeri Sakura.
Di Jepang, sang putri mulai menunjukkan gejala aneh seperti berjalan saat tidur, bahkan sering lupa makan dan minum. Rumah sakit mendiagnosisnya terkena demensia dini atau yang kini lebih dikenal dengan nama skizofrenia.
Editor’s picks
Penyakit itu bagaimana pun berhasil melunakkan hati Kekaisaran Jepang pada Putri Deokhye. Dia akhirnya diperbolehkan untuk tinggal bersama saudara tirinya, Pangeran Yi Eun yang juga tinggal di Jepang.
Baca Juga: Luar Biasa, Ini 7 Wabah yang Mengubah Sejarah Dunia
5. Jepang menikahkannya dengan seorang bangsawan
Dalam usaha untuk mengucilkan Deokhye dan seluruh keluarga Koreanya, Kekaisaran Jepang menjodohkan sang putri dengan bangsawan bernama Takeyuki So pada tahun 1931. Kabar baiknya, meski pernikahan itu tidak didasari perasaan apa pun, suami Deokhye berusaha bersikap baik pada sang istri.
Selang setahun kemudian, Deokhye melahirkan seorang putri bernama Masae. Kehadiran sang putri seharusnya membuat pernikahan itu semakin bahagia. Sayang, gejala skizofrenia yang dideritanya kembali kambuh dan mengharuskan Deokhye mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk waktu yang lama.
6. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat Deokhye kehilangan suami dan putrinya
Kekalahan Jepang pada tahun 1945, membuat suami Deokhye kehilangan segalanya. Di satu sisi, Takeyuki So juga harus membayar biaya perawatan istrinya di rumah sakit. Tidak sanggup lagi membiayai semuanya, ia memutuskan untuk menceraikan Deokhye tahun 1953.
Perceraian itu jelas membuat Deokhye terpukul. Kondisinya semakin parah setelah kepergian putri semata wayangnya, Masae. Sang buah hati itu mengalami depresi karena diskriminasi yang dialaminya di Jepang dan perceraian orangtuanya. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup pada tahun 1956.
7. Pemerintah Korea sempat menolak kepulangannya
Setelah lepas dari penjajahan Jepang, Korea terbagi dua. Memanfaatkan momen ini, saudara laki-laki Deokhye mengajukan petisi ke Pemerintahan Korea Selatan dan Utara untuk memulangkan putri terakhir Dinasti Joseon tersebut.
Dilansir Factinate, awalnya petisi itu ditolak kedua negara, karena mereka khawatir kepulangan sang putri akan memicu kekacauan politik. Namun akhirnya pada tahun 1962, Pemerintah Korea Selatan mengizinkan Deokhye pulang ke kampung halamannya. Dia tiba pada 16 Januari 1962 dan langsung dilarikan ke Seoul National University Hospital karena kondisi kesehatan mentalnya yang buruk.
8. Sayangnya, perubahan Korea Selatan membuatnya merasa kehilangan
Setelah 6 tahun melakukan perawatan, DeokHye akhirnya dipulangkan dari rumah sakit pada tahun 1968. Dia bersama keluarganya yang tersisa tinggal di rumah lama mereka, Istana Changdeokgung. Sayangnya, Korea tahun 60-an sangat berbeda dengan Korea di masa kecilnya.
Perubahan ini membuat sang putri merasa sangat kehilangan. Putri Deokhye meninggal pada 21 April 1898 di istana. Di menit terakhir hidupnya sang putri mengatakan, "Aku merindukan Tanah Airku bahkan saat aku berada di negaraku". Kalimat itu cukup mengungkapkan rasa kehilangannya.
Kehidupan Putri Deokhye memberikan kita gambaran tentang betapa mengerikannya masa penjajahan. Sang putri bukan hanya harus kehilangan gelar, tapi juga melewati setengah dari hidupnya di pengasingan yang jauh dari keluarga. Sedihnya, ketika dia bisa kembali, negara yang seharusnya menjadi rumah justru sudah berubah menjadi tempat yang terasa asing.
Baca Juga: 7 Raja Korea Selatan yang Terkenal Bijak dan Berkarisma
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.