Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri Hidupnya

Bermula dari kecelakaan sepeda motor

Jakarta, IDN Times - Pergerakan Agus di lapangan tidak bisa diremehkan. Di atas kursi rodanya ia bergerak maju-mundur dan ke samping, memukul kok yang terus dikembalikan Kim Jungjun. 

Dengan cepat, pria bernama lengkap Agus Budi Utomo itu memutar kursi rodanya dengan tangan kiri untuk menempatkan diri di tempat jatuhnya kok seraya memukul kok dengan tangan kanannya.

Usaha Agus menumbangkan atlet Korea itu mendapat dukungan dari penonton yang terus menyemangati hingga akhir pertandingan. Meski kalah di ajang Asian Para Games 2018, ia tidak kecewa. Jiwa sportifitas sudah melekat sejak lama, sejak menjadi atlet difabel bulu tangkis.

Sebuah perjalanan panjang membuat Agus merasa frustasi pada awal ia menjadi difabel. Bagaimana kisah perjalanan dia menjadi atlet difabel pebulu tangkis?

Baca Juga: Beregu Putra Bulu Tangkis Indonesia ke Semifinal Asian Para Games! 

1. Kecelakaan sepeda motor dan kesalahan pengobatan membuat kaki Agus harus diamputasi

Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri HidupnyaIDN Times/Helmi Shemi

Semua bermula saat kecelakaan sepeda motor pada saat Agus masih erusia 19 tahun. Saat itu, ia baru keluar dari sekolah dan akan pergi bekerja di bengkel las.

Meski kecelakaan itu tidak terlalu parah, namun kesalahan pengobatan membuat kaki pria kelahiran 1977 ini harus diamputasi.

“Kalau kecelakaan gak segitu parah ya, cuma kesalahan pengobatan dari orangtua, makanya harus diamputansi,” ungkap Agus, baru-baru ini.

2. Dua tahun Agus hidup dalam keputusasaan dan keinginan mengakhiri hidup

Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri HidupnyaIDN Times/Helmi Shemi

Kehilangan satu kakinya sangat berat bagi Agus menjalani kehidupannya. Hampir dua tahun ia hidup dalam keputusasaan. Ia malu keluar rumah dan bertemu tetangganya.

“Cuma di rumah, cuma makan tidur. Kalau mau keluar malu, namanya dulu sehat sekarang mau keluar malu,” dia mengenang.

Kondisi terburuk yang dialami Agus saat ia terus mengkhawatirkan masa depannya. Mulai soal pekerjaan hingga pernikahan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghinggapi pikirannya dan membuatnya frustasi. Bahkan, ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

“Stres sempat mau bunuh diri, tapi akhirnya ditungguin orangtua, dikasih pengertian tiap hari, sempat berpikir gitu. Karena udah stres sekali jadi gak bisa mikir. Kalau orang udah gak bisa mikir maunya jalan pintas,” ungkap Agus.

3. Agus menemukan kembali semangat hidup dan kebahagiaannya

Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri HidupnyaIDN Times/Helmi Shemi

Pria kelahiran Semarang ini akhirnya dibujuk Dinas Sosial untuk datang ke sebuah yayasan di Solo pada 2000. Di sana, pikirannya mulai terbuka dan kembali bersemangat. Ia belajar dari teman-temannya yang memiliki kondisi lebih parah dari dia, namun tetap semangat.

“Kan kita kumpul, banyak teman. Saya lihat teman-teman yang lebih parah dari saya semangat hidupnya ada, kenapa saya gak?” ungkap dia.

Tak hanya semangat hidup, pada 2002 Agus juga menemukan kebahagian dengan menikahi seorang teman yang sudah ia kenal di yayasan itu sejak dua tahun lamanya.

“Di yayasan cuma satu tahun tapi teman-teman sering kumpul akhirnya ikut olahraga. Kalau istri selalu berdoa dan mendukung. Namanya orang pacaran, cocok, suka, perhatian,” ujar Agus, tersipu.

Agus dan istrinya kemudian dianugerahi tiga anak, namun ia harus merelakan kepergian dua anaknya pada usia dini.

“Yang masih pertama. Yang kedua waktu lahir gak ada, yang ketiga prematur 7,5 bulan, di rumah sakit 2,5 akhirnya gak ada (meninggal),” ujar dia.

Kini, Agus hanya tinggal bertiga bersama istri dan seorang anak. Namun, dia lebih kuat. Ia tak lagi malu berjalan kemana pun, termasuk ke mal dan wisata kuliner.

“Sukanya ke Semarang Gunung Pati, makan di pemancingan. Sekalian ada tempat wisata, emang sekeluarga sukanya kuliner,” tutur Agus.

4. Perjalanan menjadi atlet difabel dari atletik hingga ke bulu tangkis

Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri HidupnyaIDN Times/Helmi Shemi

Enam tahun sejak dibujuk Dinas Sosial masuk ke yayasan difabel, Agus mengikuti Paralimpiade atau olimpiade bagi atlet difabel pada 2006. Ia sempat mencoba cabang olahraga atletik kategori lompat tinggi, namun karena tidak sesuai, ia pindah ke cabang olahraga renang hingga tingkat daerah.

“Belum sampai target (lompat tinggi) terus pindah renang sampai level daerah aja gak sampai nasional. Kalah sama yang senior,” ujar dia.

Agus akhirnya pindah ke bulu tangkis pada 2011. Secara resmi ia mengikuti pemusatan latihan nasional (Pelatnas) pada 2012. Dia juga berhasil meraih medali perunggu pada ASEAN Para Games 2015 di Singapura.

“2012 Pelatnas di Riau baru ikut bulu tangkis, alhamdulillah langsung jadi juara nomor satu. Mulai dari itu saya ikut Pelatnas. Bangga juga walaupun nomor tiga. Bangga karena dulu saya sempat terpuruk tapi sekarang udah bisa bawa nama Indonesia,” kenang dia.

Meski pernah menjadi juara, Agus terus berlatih bersama atlet difabel lainnya. Karena seorang atlet harus terus berlatih untuk mengasah kemampuannya.

“Kita tetap harus latihan, kalau gak ketinggalan sama negara-negara lain. Kita masih kurang try out sama negara lain. Pengalaman kita jarang di event internasional,” kata dia.

Tak mudah memang menjadi atlet difabel bulu tangkis. Tantangan menguasai kursi roda seraya memegang raket harus dihadapi dalam setiap berlatih. Meski kehilangan satu kakinya, Agus tetap jogging dan olahraga dasar lainnya untuk memperkuat fisik. Ada banyak hal yang harus dilatih demi memperkuat tubuhnya dan mengikuti kejuaraan.

“Tantangannya butuh kecepatan dan kekuatan tangan, kecepatan kursi roda dan pengolahan bola juga. Tangan harus kuat, mengelola kursi roda kemana-mana juga harus dipikirkan. Pas dipukul juga bola mau ditaruh mana, kalau kasih ke depan lawan kasih ke belakang kita harus selalu siap dan berpikir terus,” papar Agus.

5. Pesan Agus untuk para difabel agar tetap semangat menjalani hidup

Kisah Atlet Difabel Bulu Tangkis yang Nyaris Mengakhiri HidupnyaIDN Times/Helmi Shemi

Tak mudah menjadi difabel. Memiliki kekurangan sering kali menjadi persepsi yang kurang baik bagi Agus sendiri maupun orang lain. Ia sering menemukan difabel lain yang masih malu-malu dan depresi atas kekurangannya.

Pernah suatu hari Agus bertemu seseorang yang memiliki adik difabel. Orang tersebut heran melihat Agus percaya diri berjalan dimana pun dengan kekurangannya.

“Saya diminta tolong ke rumahnya, saya kasih pengertian, tak suruh masuk ke (yayasan di) Solo. Kalau udah ke sana timbul lagi semangat hidupnya. Banyak temen stres karena tekanan, masuk sana bisa sembuh. Berani kemana-mana, secara otomatis karena kumpul sama temen, mandangnya yang lebih parah banyak, jadi dia enak, kembali lagi, gak stres lagi. Beban sih kalau pertama kali untuk bisa ke sana sini,” kata dia.

Agus juga menyayangkan para orangtua yang anaknya mengalami disabilitas namun dibiarkan di rumah. Ia pun mengimbau agar sang anak diberi kegiatan, mencari tahu hobinya, termasuk menonton paralimpiade.

“Karena gak selamanya dia akan ikut orangtua terus. Jangan mengeluh, banyak yang belum tahu olahraga penyandang, paralympiade tapi ya karena orangtua mungkin juga malu, minder. Biasanya cuma ditaruh di rumah, gak ditaruh di yayasan mana,” ujar dia.

Selain keluarga, uang menjadi motivasi Agus menjadi atlet difabel. Dia bercita-cita menjadi PNS dengan prestasi yang ia torehkan saat ini.

“Badminton olahraga yang menyenangkan. Kalau bagi penyandang bisa untuk pekerjaan. Bisa untuk kerja untuk anak istri. Kalau juara kita menghasilkan uang dan bisa jadi PNS,” Agus memungkasi.

Semoga kisah Agus menginspirasi kita dan kaum difabel lainnya, ya guys.

Baca Juga: Menpora Akan "Adu" Atlet Asian Games dengan Asian Para Games

Topik:

  • Rochmanudin
  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya