Cerita-cerita dari Piala Dunia Silam: 1950, Bencana di Maracana

#WorldCup2018 Keheningan selimuti 200 ribu pendukung Brasil

Perang Dunia II baru saja usai. Piala Dunia yang sudah masuk edisi keempat tidak mungkin dilangsungkan di Eropa sebab mayoritas infrastruktur dalam kondisi porak poranda. FIFA akhirnya putuskan bahwa gelaran selanjutnya akan mengambil tempat di Amerika Selatan. Lowongan pun dibuka pada tahun 1946.

Gayung bersambut, meskipun dalam waktu yang cukup lama. Brasil mengirim permohonan resmi menjadi tuan rumah pesta sepakbola empat tahunan tersebut pada tahun 1949. Padahal, FIFA tengah bersiap membatalkan edisi 1950 akibat minimnya penjajakan serius. Hingga akhirnya Brasil datang menyelamatkan rencana.

Tanpa kendala berarti, sebab menjadi satu-satunya negara yang mengajukan diri, negara penghasil kopi ini ditunjuk sebagai tuan rumah perebutan trofi Jules Rimet. Minat masyarakat Brasil yang meningkat kepada sepakbola terbukti menjadi salah satu keuntungan tersendiri.

Animo masyarakat Brasil melihat timnya bertanding terhitung amat tinggi, stadion-stadion dipastikan penuh sesak. Salah satu buktinya adalah saat Brasil bertemu Spanyol di babak grup akhir, di mana 152 ribu penonton menyaksikan "sebelas pemain pilihan" menghajar La Furia Roja dengan skor telak 6-1.

1. Skuat Brazil di Piala Dunia 1950 penuh para penyerang haus gol

Cerita-cerita dari Piala Dunia Silam: 1950, Bencana di MaracanaThe Irish Times

Banyak sejarawan yang melihat Piala Dunia 1950 sebagai kelahiran kembali timnas Brasil di ajang internasional. Selecao memang pernah ambil bagian dalam cabang olahraga sepakbola Olimpiade musim panas dari kurun waktu 1908-1948, namun mereka sudah punya nama di kawasan Amerika Selatan sebagai perusak dominasi Argentina dan Uruguay.

Dalam kejuaraan yang mempertemukan negara-negara Amerika Selatan (cikal bakal Copa Amerika sekarang), Brasil berhasil keluar menjadi kampiun pada edisi 1919, 1922 dan 1949 atau tepat setahun sebelum bergulirnya Piala Dunia. Yang unik, kesuksesan tersebut diraih saat menjadi penyelenggara.

Mitos bahwa laju Brasil sulit dihentikan saat bertindak sebagai tuan rumah pun menguat. Terlebih di bawah komando pelatih Flavio Costa, mereka menjelma sebagai tim yang hobi menjebol jala gawang tim lawan. Total 22 gol berhasil mereka lesakkan dalam 5 laga sebelum penentuan juara.

Bersenjatakan trio Ademir - Jair - Zizinho yang amat berbahaya di kotak penalti, si tuan rumah melaju tanpa hambatan. Mereka pun digadang-gadang banyak orang untuk mengangkat trofi Jules Rimet. Di partai pamungkas mereka bertemu Uruguay, rival lama mereka di tingkat regional.

2. Laju kurang mulus Uruguay ke partai pamungkas membuat mereka tidak diunggulkan

Cerita-cerita dari Piala Dunia Silam: 1950, Bencana di MaracanaFIFA.com

Di babak grup akhir, Uruguay memang tampil kurang meyakinkan. Imbang melawan Spanyol dan mengalahkan Swedia 3-2 dengan susah payah membuat mereka disebut akan menjadi bulan-bulanan dalam duel penentuan. Intinya, tak ada yang mengunggulkan La Celeste, bahkan para suporter mereka sendiri.

Melihat kondisi sang lawan, pendukung Brasil merasa di atas angin. Perayaan kemenangan sudah disiapkan jelang partai puncak. Foto Ademir dan kawan-kawan bahkan terpajang di seantero kota Rio de Janeiro dengan keterangan "Brasil Sang Juara Dunia". Media-media massa siap menyambut juara baru meski final belum diadakan.

Sadar akan posisi mereka, Obdulio Varela selaku kapten Uruguay waktu itu punya cara "unik" untuk menjaga semangat bertanding rekan-rekannya. Varela membeli surat kabar O Mundo yang memuat foto kesebelasan Brasil dengan keterangan "juara dunia" sebanyak yang dia bisa. Koran-koran tersebut kemudian dijadikan sebagai alas lantai kamar mandi di seluruh kamar hotel tempat skuat Uruguay menginap.

3. Momen saat gol Alcides Ghiggia (Kiri) membuat "La Celeste" membalikkan keadaan

Cerita-cerita dari Piala Dunia Silam: 1950, Bencana di MaracanaFIFA.com

Minggu sore tanggal 16 Juli 1950, laga yang ditunggu akhirnya datang juga. 200 ribu orang memenuhi Stadion Maracana tempat final berlangsung. Banyak dari mereka yang sudah bersiap menggelar pesta juara. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.

Permainan total menyerang yang diperagakan Brasil sepanjang turnamen berhasil diredam oleh Uruguay. Harapan para penonton sempat membuncah usai tandem Ademir di lini depan, Friaca, memecah kebuntuan pada menit ke-47. Brasil memimpin 1-0. Sayang, menit-menit selanjutnya menjadi mimpi buruk untuk mereka.

Keasyikan menyerang, Brasil kecolongan gol penyama kedudukan hasil sundulan gelandang serang Juan Alberto Schiaffino di menit ke-66. Uruguay berhasil membalikkan keadaan saat laga tersisa sebelas menit.

Skema serangan balik dari winger Alcides Ghiggia membuat kiper Brasil, Moacir Barbosa, memungut bola dari jala gawang sendiri untuk kali kedua. Gol Ghiggia membuat gemuruh di Maracana berhenti seketika, para penonton terhenyak diam.

Saat peluit tanda rampungnya 90 menit dibunyikan oleh wasit George Reader asal Inggris, para pemain cadangan hingga sang pelatih yakni Juan Lopez Fontana langsung menghambur ke lapangan memeluk pemain Uruguay terdekat. Kontras dengan para pemain dan suporter Brasil yang meratap dalam rasa kecewa.

4. Bek Uruguay, Schubert Gambetta (Tengah), berusaha menerobos kerumunan orang saat menuju kamar ganti

Cerita-cerita dari Piala Dunia Silam: 1950, Bencana di MaracanaMSNBC.com

Kesedihan menyebar di seantero Brasil, baik yang menonton langsung di Maracana atau yang mengikuti lewat siaran langsung radio. Mereka tidak percaya bahwa Brasil yang amat diunggulkan bisa kalah secara tragis.

Sorak sorai berganti linangan air mata, tidak ada perayaan untuk Selecao sore itu. Beberapa fans bahkan diberitakan bunuh diri dengan cara meloncat dari balkon stadion akibat tak sanggup menerima hasil akhir. Kekacauan terjadi di dalam dan di luar stadion.

Flavio Costa, pelatih Brasil, harus dikawal oleh polisi ke ruang ganti sebab beberapa suporter coba menyerangnya. Beberapa hari usai laga tersebut Costa mengatakan :

"Kami hancur, dipermalukan, penuh rasa bersalah. Ketika berada di dalam ruang ganti bersama para pemain, aku hanya ingin segera pulang ke rumah. Aku sebenarnya ingin keluar tanpa berbicara dengan siapapun, namun itu mustahil. Kami harus menunggu situasi aman sebelum pergi dari Maracana."

Laga ini sendiri dikenang sebagai salah satu momen legendaris di Piala Dunia, saat tim berlabel underdog berhasil tumbangkan kesebelasan unggulan. Namun Brasil tak perlu menunggu amat lama untuk menebus "Maracanazo", bencana di Maracana.

Delapan tahun kemudian atau saat Piala Dunia 1958, mereka berhasil keluar menjadi juara dunia di Swedia bersama seorang anak ajaib yang baru berumur 17 tahun: Pele.

Achmad Hidayat Alsair Photo Verified Writer Achmad Hidayat Alsair

Separuh penulis, separuh orang-orangan sawah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indra Zakaria

Berita Terkini Lainnya