Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke Eropa

Reformasi liga domestik jadi kunci

Meski hanya berhasil mencapai babak 16 besar, Jepang jadi salah satu tim kuda hitam yang masih melekat kuat di ingatan kita saat bicara Piala Dunia 2022 Qatar. Meski tak berhasil melaju jauh seperti Maroko, Jepang berhasil memuaskan ego para penggemar sepak bola yang haus variasi dengan mengalahkan dua mantan juara, Jerman dan Spanyol.

Capaian itu membuat orang penasaran untuk menilik peta kekuatan tim Samurai Biru. Alhasil, fakta bahwa makin banyak pemain dengan pengalaman luar negeri, terutama berlaga di liga-liga elite Eropa, dipercaya jadi salah satu faktor keberhasilan Jepang. Sedikit beda dengan Maroko yang didominasi pemain yang lahir dan besar di Eropa, para pemain Jepang merupakan homegrown alias mengenyam pendidikan akademi sepak bola di negara sendiri.

Lantas, apa yang membuat pemain Jepang menarik di mata klub-klub terbaik Eropa? Mari tengok beberapa kiat Jepang membuka pasar ekspor pemain sepak bola.

1. Sebuah penelitian membuktikan bahwa kesuksesan timnas berkaitan erat dengan liga domestik

Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke Eropapemain timnas Jepang di Piala Dunia 1998 (instagram.com/japanfootballassociation)

Sebelum kamu berburuk sangka, sebenarnya kegiatan ekspor dan impor pemain sepak bola adalah hal yang lumrah dan berdampak positif pada perkembangan sepak bola dalam negeri. Hal ini dibuktikan Baur dan Lehmann dalam makalah berjudul "Does the Mobility of Football Players Influence the Success of the National Team?" yang dipublikasikan dalam Institute for International Integration Studies Discussion Paper pada 2007. 

Mereka melakukan pengamatan dan pengambilan data dari 32 tim yang berlaga di Piala Dunia 2006. Hasilnya, Baur dan Lehmann menemukan bahwa negara yang pemainnya banyak merumput di luar negeri (ekspor) dan negara yang liga domestiknya diisi banyak pemain asing (impor) menjelma jadi tim yang diperhitungkan. Ini disebabkan para pemain dapat eksposur terhadap pengalaman yang lebih kaya dibanding tim yang tidak melakukan ekspor dan impor.

Negara eksportir yang dimaksud kedua peneliti tersebut adalah Brasil, Argentina, Pantai Gading, dan Republik Ceko. Sementara itu, tim importir terbesar yang disebutkan adalah Italia, Inggris, Jerman, Spanyol, Portugal, dan Prancis.

Namun, tetap ada pengecualian. Menurut mereka, bila berlebihan bukan tidak mungkin kegiatan ekspor-impor pemain justru berdampak negatif pada perkembangan sepak bola terutama tim nasional sebuah negara.

2. Jepang melakukan reformasi liga sepak bola domestik dengan serius

Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke EropaAo Tanaka dan Kaoru Mitoma saat masih membela Kawasaki Frontale (instagram.com/jleaguejp)

Seakan berkaca dari penelitian tersebut, Jepang pun melakukan beberapa perbaikan di liga domestik mereka. Melansir liputan Jack Pitt-Brooke untuk The Athletic, sejak Mitsuru Murai terpilih jadi direktur liga utama Jepang (J League), ia tertarik untuk mengadopsi gaya pendidikan sepak bola ala Inggris. Salah satunya kurikulum akademi sepak bola West Ham United.

Dalam liputan tersebut, pengurus J League dikabarkan tertarik pada gaya kepelatihan tim U-21 West Ham yang tidak mengabaikan pengembangan di level individu. Ini menarik untuk Jepang karena selama ini konsep mereka cenderung menyamaratakan pemain. Sejak saat itu, Inggris dan Jepang banyak melakukan kerja sama di bidang sepak bola. Termasuk program pertukaran pemain dan staf. 

Sejak era Murai pula, J League yang tadinya masih memegang kultur senioritas khas Asia Timur mulai memberikan ruang dan kesempatan lebih besar untuk pemain-pemain muda. Mereka mulai sadar bahwa usia muda adalah aset yang krusial dalam sepak bola.

Baca Juga: 7 Anime Jepang tentang Sepak Bola, Menginspirasi!

3. Membuka sekolah sepak bola di berbagai wilayah secara merata  

Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke EropaShinji Kagawa saat mengunjungi akademi sepak bola di kampung halamannya, Hyogo Prefecture (instagram.com/sk23.10)

Namun, pengembangan sepak bola Jepang bukan hal yang baru terjadi pada awal 2010-an. Menurut tulisan Dan Orlowitz di The Japan Times, sejak 1990-an, Japan Football Association (JFA) sudah mendorong dibukanya lebih banyak klub sepak bola, terutama di daerah-daerah nonkota besar. Mereka menambah kuota klub untuk liga utama, kasta kedua, dan kasta ketiga secara bertahap.  

Hasilnya, klub sepak bola di Jepang tersebar merata hampir di semua wilayah, termasuk kota-kota kecil. Kekuatan sepak bola Jepang tidak lagi hanya terpusat di Tokyo, Osaka, dan Shizuoka. Dengan begitu, menjaring talenta lokal jadi lebih praktis dan mudah. Akses pun terbuka untuk siapa saja, di mana saja.

4. Jerman jadi tren tujuan utama para pemain Jepang saat ini 

Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke EropaMakoto Hasebe (instagram.com/japanfootballassociation)

Dipilihnya Jerman sebagai negara tujuan utama para pemain Jepang yang ingin menjajal atmosfer liga elite Eropa sebenarnya bukan hal baru. Berdasarkan catatan sejarah, Yasuhiko Okudera adalah Jepang pertama yang berhasil mendarat di luar negeri. Melansir Vice, usai lulus SMA, Okudera bekerja di sebuah perusahaan bernama Furukawa Electric dan bergabung dengan tim sepak bola di kantornya. 

Saat timnya diajak tur ke Jerman pada 1977, ia ditaksir tim scout FC Koln yang menawarinya kontrak profesional. Hidup Okudera pun langsung berubah, ia langsung melompat dari pemain sepak bola amatir menjadi seorang atlet profesional di salah satu liga terbaik Eropa. 

Setelah Okudera, tidak banyak pesepak bola Jepang yang menyusul jejaknya. Ada beberapa yang berlaga di Eropa, terutama Inggris dan Italia, sepanjang tahun 1990-an sampai 2000-an seperti Hidetoshi Nakata, Yoshikatsu Kawaguchi, Junichi Inamoto, Shunsuke Nakamura, dan Makoto Hasebe. Beberapa dari mereka kesulitan dapat tempat di skuad utama, tetapi tak sedikit yang jadi andalan dan berkontribusi dalam perebutan gelar prestisius untuk klubnya, baik di level domestik maupun regional Eropa. 

Pada 2010-an, ekspor pemain Jepang ke Eropa mulai mengalami peningkatan signifikan. Sejak Piala Dunia 2010 sampai edisi terakhir pada 2022 lalu, Jepang selalu punya pemain yang merumput di Eropa dan jumlahnya terus bertambah. Dari sembilan, kini selalu belasan. 

Kebanyakan dari mereka merumput di Jerman. Tidak ada alasan yang jelas mengapa Jerman jadi tujuan utama para pemain homegrown Jepang untuk merantau. Namun, banyak yang berargumen bahwa Jepang dan Jerman memiliki beberapa kemiripan prinsip dan kultur kerja yaitu mengutamakan kedisiplinan, keteraturan, dan cenderung berusaha mencapai kesempurnaan. Ditambah dengan fakta bahwa Bundesliga dikenal sebagai liga yang memberi banyak peluang bermain untuk pemain muda dan debutan dibanding liga-liga top Eropa lainnya.

5. Selisih kualitas sepak bola Jepang dengan Eropa mulai menyempit

Kiat Jepang Mengekspor Pemain Sepak Bolanya ke EropaRitsu Doan dan Takefusa Kubo, dua pemain Jepang yang merumput di Eropa (instagram.com/doanritsu)

Dengan reformasi di berbagai sisi ini, Jepang perlahan mempersempit selisih kualitas sepak bolanya dengan Eropa. Menyamai tingkat persaingan tinggi ala liga elite Eropa memang masih jauh, tetapi bukan tidak mungkin di masa depan Jepang akan jadi salah satu negara prioritas yang dituju para scout agents saat mencari bibit muda berbakat. Layaknya Amerika Selatan saat ini. 

Menarik pemain untuk bermain di liga domestik relatif lebih mudah dibanding mengekspor pemain lokal untuk berlaga di liga top dunia. Jepang telah melakukannya, tentu lewat perjuangan berat dan integritas yang tinggi. Menurutmu, negara Asia mana yang akan menyusul Jepang dalam waktu dekat?

Baca Juga: 6 Tahapan Belajar Bahasa Jepang yang Bisa Dilakukan Secara Otodidak

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya