Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022

Mana yang paling terasa buatmu?

Privilese, sebuah istilah yang belakangan populer saat bicara berbagai topik. Menurut kamus Cambridge, privilese merujuk pada keistimewaan atau keuntungan yang didapat seseorang karena mereka menyandang status ekonomi dan sosial yang lebih tinggi atau berasal dari ras dan gender tertentu.

Dalam olahraga dan sepak bola khususnya, konsep ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita tahu, sampai sekarang olahraga ini masih didominasi oleh gender dan ras tertentu. Apa saja, sih, contohnya? Bukti-bukti privilese itu sebenarnya terpampang nyata dalam gelaran Piala Dunia 2022. Apakah kamu memperhatikannya juga? 

1. Tim asal Afrika dan Asia yang sukses didominasi diaspora yang tinggal di Eropa 

Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022pemain Maroko merayakan kemenangan atas Spanyol di Piala Dunia 2022 (instagram.com/fifaworldcup)

Cerita heroik Timnas Maroko dan Jepang yang bombastis memang jadi sasaran glorifikasi media dan warganet. Mereka mendadak jadi sumber inspirasi yang beresonansi dengan kalimat-kalimat motivasi macam, "tak ada yang tidak mungkin" atau "siapapun bisa jadi bintang".

Namun, jika ditilik lebih jauh kesuksesan Jepang dan Maroko berkaitan erat dengan  keberadaan diaspora mereka di Eropa. Ini membuktikan bahwa Eropa masih memegang peranan penting dalam mencetak talenta-talenta berkelas dunia. Sementara, kebanyakan negara-negara Afrika dan Asia belum punya fasilitas yang memadai untuk menunjang regenerasi dan menggembleng para atletnya. 

Dalam kasus Maroko, kebanyakan pemainnya bahkan lahir dan besar di negara-negara Eropa sebagai anak imigran. Posisi ini menguntungkan karena para pemain tersebut tak perlu menunggu scouting agent menemukan mereka di Maroko, kemudian memboyongnya ke Eropa. Lebih mudah, mereka bisa langsung mengikuti audisi di akademi-akademi milik klub raksasa Eropa seperti yang terjadi pada Achraf Hakimi (akademi Real Madrid) misalnya. 

2. Pelatih masih didominasi ras kulit putih 

Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022Herve Renard dan asistennya di Timnas Arab Saudi Piala Dunia 2022 (instagram.com/herve.renard.hr)

Privilese berdasarkan ras juga hal yang sangat umum kita temukan dalam sepak bola. Gareth Southgate, pelatih Inggris yang pertama kali mengungkap isu ini di media seperti dilansir The Guardian. Menurutnya, pelatih-pelatih tim nasional dan liga top dunia masih didominasi ras kulit putih. 

Ini terlihat pula dalam Piala Dunia 2022. Banyak pelatih asal Eropa dan Amerika Latin yang berasal dari ras kulit putih didapuk memimpin tim-tim asal Asia dan Afrika. Sebagai contoh Herve Renard (Prancis) jadi pelatih Timnas Arab Saudi, Paulo Bento (Portugal) untuk Korea Selatan, Felix Sanchez (Spanyol) ditunjuk Qatar, dan Carlos Queiroz (Portugal) di Timnas Iran. 

Negara-negara Afrika yang justru progresif. Dalam Piala Dunia 2022, semua tim asal Afrika menggunakan jasa pelatih asal negara mereka sendiri tahun ini. 

Baca Juga: Stres Berat Bayangi Para Bintang Dunia Usai Piala Dunia 2022

3. Anak-anak pemain sepak bola yang melanjutkan karier ayahnya

Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022Kasper Schmeichel (instagram.com/kasperschmeichel)

Saat bicara sepak bola, media lebih senang mengekspos kisah heroik pemain sepak bola asal kelas menengah bawah seperti Maradona, Angel di Maria, dan Richarlison. Namun, sebenarnya banyak pemain sepak bola dunia yang berasal dari kelas menengah atas. Contoh paling mudah adalah para pemain yang melanjutkan karier ayah mereka. 

Berstatus pemain bola sukses membuat para pemain tidak kesulitan memberikan fasilitas terbaik untuk anak-anak mereka lewat perpaduan apik antara pendidikan formal yang memadai dan akademi sepak bola yang mumpuni. Contoh paling mudah adalah Kasper Schmeichel yang merupakan putra dari kiper legenda Peter Schmeichel. Kasus serupa juga terjadi pada Alexis MacAllister (Argentina), Daley Blind (Belanda), Christian Pulisic (Amerika Serikat), dan masih banyak lainnya. 

4. Timothy Weah, salah satu contoh pemain yang berlatarbelakang keluarga berada 

Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022Timothy Weah (instagram.com/timothyweah)

Bukti privilese yang paling nyata bisa kamu temukan lewat sosok Timothy Weah yang membela Timnas Amerika Serikat (USMNT) di Piala Dunia 2022. Lahir dari seorang pesepak bola sukses asal Liberia, George Weah, yang mengalami masa emasnya pada 1990-an. Sebagai atlet profesional yang merumput di klub-klub top Eropa, Weah tak kesulitan menafkahi keluarganya.

Melansir The Athletic, George Weah bahkan bisa membangun sebuah akademi sepak bola di New York. Akademi tersebut menjadi tempat pertama sang putra, Timothy Weah, menemukan kecintaannya pada sepak bola. Privilese lain yang didapat Timothy sebagai putra George adalah fakta bahwa ia lahir di teritori Amerika Serikat dan membuatnya memenuhi syarat untuk membela USMNT. 

Privilese sama didapat pula oleh Yunus Musah yang bila merujuk liputan ESPN lahir di Amerika Serikat saat orangtuanya yang asal Ghana sedang berlibur. Musah bahkan sudah pernah tinggal di beberapa negara mengikuti pekerjaan orangtuanya, termasuk Inggris dan Italia. 

5. Komersialisasi event olahraga pria unggul jauh dibanding perempuan

Bukti Privilese dalam Sepak Bola yang Tampak di Piala Dunia 2022Sponsor di Piala Dunia 2022 (instagram.com/fifaworldcup)

Selain Piala Dunia untuk sepak bola pria, sebenarnya FIFA juga sudah menyelenggarakan Piala Dunia Sepak Bola Perempuan sejak 1991. Namun, gaungnya sangat berbeda.

Secara umum, pertandingan sepak bola jauh lebih semarak dengan sponsor yang bertebaran. Hak siarnya bahkan jadi rebutan banyak kanal televisi kabel dan layanan streaming berbayar. Sementara, laga-laga sepak bola perempuan sering kali disiarkan secara cuma-cuma di kanal streaming gratis seperti YouTube. 

Melansir liputan The Guardian tahun 2015, keengganan investor dan pemilik modal (korporasi) untuk mendanai tim-tim sepak bola perempuan memang jadi fakta yang memprihatinkan. Ini diamini penelitian Rasmussen dkk. pada 2021 yang berjudul "Gender Marginalization in Sports Participation through Advertising: The Case of Nike".

Mereka menemukan bahwa meski sudah mulai bekerja sama dengan atlet-atlet dari gender marginal (perempuan dan non-biner), salah satu perusahaan apparel olahraga ternama dunia yang mereka teliti masih memprioritaskan hegemoni maskulin dalam kampanye pemasaran mereka. 

Tak heran kalau privilese jadi kata yang santer kita dengar dalam berbagai produk budaya. Eksistensinya tidak terbatas di berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam sepak bola. Mana bukti yang paling kamu rasakan selama gelaran Piala Dunia 2022 berlangsung?

Baca Juga: Cahaya Asia, Teladan dari Timnas Jepang dan para Suporternya

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya