Sunderland 'Til I Die (EKSKLUSIF): Kisah di Balik Layar

IDN Times mewawancarai Charlie Methven, eks CEO Sunderland

Jakarta, IDN Times - Sunderland 'Til I Die musim kedua yang rilis di Netflix pada 1 April 2020 mencuri atensi. Seperti IDN Times tulis di bagian pertama, seri dokumenter tentang klub Inggris, Sunderland AFC ini, memang dikemas berbeda daripada yang lain. Jika klub pada umumnya getol mendokumentasikan kisah kesuksesannya, hal berbeda dilakukan klub berjuluk The Black Cats ini.

Dan di musim kedua inilah, sosok Charlie Methven mencuri perhatian.

Datang "satu paket" bersama bos baru, Stewart Donald, sosok Charlie menggantikan posisi Martin Bain, eks CEO Sunderland yang dipecat usai kegagalan klub di musim 2017/2018. Masuk bersama gerbong baru yang dibawa Donald, Charlie didapuk menjadi CEO klub dan bertanggung jawab mengembalikan Sunderland ke jalur yang semestinya: sebagai salah satu klub yang disegani di kancah sepak bola Inggris, kendati harus berlaga di League One, kasta ketiga kompetisi Inggris.

Sejak pertengahan April, IDN Times coba mewawancarai Charlie. Dalam Sunderland 'Til I Die musim kedua ini, ia memang mendapat porsi tampil di depan kamera cukup banyak dalam dokumenter yang berlangsung selama 6 episode tersebut. Tak begitu aktif di media sosial, membuat kami cukup terkendala mencari kontak pria kelahiran Oxford ini.

Beruntung, pada pertengahan Mei ini, kami berhasil menghubungi Charlie. Secara ekslusif kepada IDN Times, Charlie yang kini menjadi co-owner Sunderland menceritakan detail kisah di balik layar dari dokumenter unik ini.

1. Cara Charlie memandang Sunderland sebagai klub sepak bola dan komunitas, mengingat The Black Cats adalah salah satu klub Inggris yang cukup disegani dan punya basis massa besar

Sunderland 'Til I Die (EKSKLUSIF): Kisah di Balik LayarSeries dokumenter Sunderland 'Til I Die di Netflix (Website/www.si.com)

Membuka wawancara yang kami lakukan secara daring, Charlie menjabarkan dengan detail bagaima ia melihat Sunderland sebagai komunitas dan sebagai kultur. Secara terang-terangan, ia menyebutkan bahwa sejarah dan kultur sebagai kota industri membuat Sunderland begitu unik nan kompleks.

"Sunderland sebagai komunitas bisa saya sebut cukup simpel, namun di satu sisi juga kompleks. Simpel, karena kota ini begitu heterogen dan sejarah serta kultur wilayahnya begitu jelas dan tidak abstrak. Namun ia juga kompleks, karena de-industrialisasi yang terjadi di sana membuat trauma psikis yang berujung kepada terpuruknya industri pembuatan kapal yang jadi ciri khas kota tersebut dan meredupnya industri tambang yang membayangi kota tersebut selama satu abad belakangan," jelas Charlie kepada IDN Times, Selasa (19/5).

Secara spesifik, Charlie juga menyebutkan tantangan khusus yang ia hadapi saat duduk sebagai manajemen klub kala berhadapan dengan fanbase Sunderland yang militan.

"Di Sunderland, Anda menghadapi masyarakat yang bangga dengan sejarah klub dan kota mereka, namun secara psikis mereka juga tak cukup percaya diri dengan masa depan yang ada di klub dan kota itu," ungkap Charlie lagi.

Saat ini sendiri, Charlie bukan lagi menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Sunderland AFC, namun per awal musim 2019/2020, ia adalah sebagian pemilik klub bersama dengan sang chairman, Stewart Donald.

"Saat ini saya adalah co-owner Sunderland dan direktur di konsorsium yang menaungi klub yakni Madrox Ltd.," kata Charlie menjelaskan.

Baca Juga: Absurditas Sepak Bola Inggris Dalam Sunderland 'Til I Die (Bagian 1)

2. Charlie Methven sendiri punya latar belakang unik. Dulunya, ia adalah jurnalis, sebelum dunia manajemen dan bisnis sepak bola "menyeretnya" hingga berujung pada Sunderland

Sunderland 'Til I Die (EKSKLUSIF): Kisah di Balik LayarSeries dokumenter Sunderland 'Til I Die di Netflix (Website/www.si.com)

Di season kedua ini, Charlie memang digambarkan secara terang-terangan sebagai CEO yang begitu passionated dengan sepak bola. Ia merevolusi bisnis dan sistem marketing klub dan merombak secara masif cara Sunderland menjalankan bisnisnya.

Sebagai contoh, di episode 1 dan 2, digambarkan dengan jelas bagaimana Charlie menuntut stafnya untuk bekerja keras membuat Stadium of Light, kandang Sunderland, sebagai tempat yang angker bagi lawan. Awalnya, ini dilakukan Charlie karena rekor buruk klub di musim 2017/2018 yang hampir satu tahun lamanya sempat gagal menang kendati main di kandang.

Kepada IDN Times, Charlie menceritakan proses di balik itu semua.

"Saya sangat menikmati pekerjaan menjalankan operasional klub sepak bola. Ini adalah pekerjaan yang begitu bertumpuk-tumpuk, di mana kamu dihadapkan pada banyak tugas dalam satu waktu. Di satu sisi, kamu berurusan dengan isu operasional klub, tantangan marketing, sampai peluang-peluang untuk meningkatkan public relations klub di mata suporter. Dan di lain waktu, kamu juga harus mengatur sisi finansial. Setiap hari, tantangan yang kamu hadapi akan sangat berbeda dan tiap tantangan itu membutuhkan keterampilan berbeda untuk menuntaskannya," jelas Charlie secara mendetail.

Baca Juga: Sunderland Tawarkan Tuna Wisma Menginap di Stadium of Light

3. Di Indonesia, masyarakat masih awam dengan kehidupan manajemen di dalam sebuah klub sepak bola. Sebabnya, transparansi masih jadi isu besar di sini. Khusus hal itu, Charlie membantu merinci bagaimana kinerja dan hidup sehari-sehari di dalam manajemen klub

Sunderland 'Til I Die (EKSKLUSIF): Kisah di Balik LayarCharlie Methven di Stadium of Light pada laga Boxing Day League One 2018/2019 melawan Bradford. Foto: (Ian Horrocks/Dok. Sunderland AFC)

Seperti kita tahu sendiri, transparansi masih jadi isu besar di sepak bola Indonesia. Bahkan hingga masuk tahun 2020, sepak bola Indonesia masih enggan menunjukkan nominal gaji pemain dan detail kontrak para bintang lapangan hijau yang mereka rekrut. Praktis, masyarakat masih sangat awam dengan informasi tentang bagaimana kehidupan di dalam klub dan bagaimana manajemen klub menjalankan tugasnya.

Oleh sebab itu, IDN Times meminta tolong kepada Charlie untuk memberi gambaran singkat bagaimana hidup dan kinerja sehari-hari manajemen klub di sebuah ekosistem sepak bola.

"Percayalah, pekerjaan ini seperti merenggut seluruh hidupmu! Hampir tidak ada libur akhir pekan di pekerjaan ini. Kehidupan di pekerjaan ini seakan terus ada dan tak pernah berhenti serta hampir menyedot semua kehidupanmu. Itu bahkan membuat saya sangat kesulitan untuk tidur di malam hari," ungkap Charlie terkait perannya sebagai CEO Sunderland kala itu.

"Di kasus saya, pekerjaan ini (CEO) begitu berat karena berarti saya harus kerja jauh dari rumah dan keluarga (keluarga Charlie tinggal di Oxford, sementara ia harus menetap di Sunderland). Satu yang paling berat adalah, kamu melakukan pekerjaan yang selalu mendapat sorotan dari suporter dan jumlah mereka sangat banyak! Ketika kamu bersantai di restoran, seseorang akan datang dan mengatakan kepadamu untuk melakukan pekerjaan mengurus klub dengan lebih baik tiap harinya. Itu melelahkan karena kamu hampir gak punya kesempatan untuk bersantai, tapi di sisi lain, ini juga sangat memuaskan saya karena kamu bisa melihat bahwa pekerjaan yang kamu lakukan di sini (Sunderland) berarti sangat banyak bagi orang-orang," pungkas Charlie. 

Baca Juga: Sunderland 'Til I Die (Bagian I): Absurditas Sepak Bola Inggris 

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya