Jerman, dari Pabrik Pemain Hingga Telurkan Pelatih Cerdas

Dari pemain sampai manajer top, Jerman punya

Jakarta, IDN Times - Selama ini, Jerman sudah menancapkan kukunya sebagai salah satu raksasa dan produsen pemain hebat. Metode pembinaan usia dini yang tepat dan dikombinasikan tatanan kompetisi rapi, kerap melahirkan bintang dunia.

Tapi, kini Jerman tidak hanya menjadi produsen pemain. Negara yang juga disebut sebagai jantung Eropa itu mulai menghasilkan manajer-manajer kelas dunia.

Buktinya sudah sahih. Dalam tiga edisi terakhir Liga Champions, musim 2018/19, 2019/20, dan 2020/21, gelar juara diraih oleh tim-tim yang menggunakan jasa manajer asal Jerman. Ada Juergen Klopp (Liverpool), Hansi Flick (Bayern Muenchen), dan Thomas Tuchel (Chelsea).

Selain tiga nama manajer di atas, masih banyak lagi manajer andal yang sukses ditelurkan oleh Jerman. Sebut saja Julian Nagelsmann, Marco Rose, Jesse March, dan Adi Hutter. Hebatnya lagi, rata-rata usia mereka masih muda untuk ukuran manajer. Bisa dibilang, Jerman sekarang Palu Gada alias "Apa Lu Mau, Gue Ada".

Bagaimana fenomena mekarnya manajer-manajer hebat Jerman ini bisa terjadi? Siapa dan apa yang jadi faktor pendorongnya?

1. Pembinaan yang berjenjang

Jerman, dari Pabrik Pemain Hingga Telurkan Pelatih Cerdasgoal.com

Dalam sebuah sistem pembinaan pemain, level grassroot jadi yang terpenting. Di Jerman, talenta-talenta muda diasah sedemikian rupa di tim junior. Ketika mereka sudah siap, langsung diberikan kesempatan untuk main bersama tim utama. Apalagi, sistem di Bundesliga begitu memungkinkan buat mereka bermain bersama tim utama karena memang ada kewajiban dari tiap klub untuk menyertakan pemain muda dengan kuota tertentu.

Rupanya, hal itu juga diterapkan dalam proses pembinaan manajer. David Webb, eks Direktur Teknik Ostersund dan Huddersfield Town, menemukan hal ini saat sedang menyelesaikan lisensi manajer di Jerman, sekitar 2008/09 silam.

Ketika itu, Webb melihat manajer yang menangani tim U-19 benar-benar disiapkan untuk menangani tim senior di masa mendatang. Sejak melatih tim junior, para manajer di Jerman sudah diberikan tanggung jawab yang setara dengan tim utama.

"Di Jerman, pelatih akademi memiliki peran yang sama pentingnya di level tim utama. Mereka melalui banyak didikan, proses, dan dapat pengalaman. Manajer tim U-19 sudah bisa dikatakan elite karena mereka memang diberi tanggung jawab yang sama besarnya," ujar Webb, dilansir Sky Sports.

Webb berujar, hampir semua manajer Jerman yang sekarang mereguk kesuksesan, melalui proses serupa. Nagelsmann melalui didikan sebagai manajer bersama tim junior 1860 Muenchen dan TSG Hoffenheim. Hingga akhirnya, Nagelsmann meraih sukses bersama Hoffenheim dan Red Bull Leipzig.

Hal yang sama juga dilalui Daniel Farke. Sempat jadi direktur teknik tim kasta ketiga di Jerman, dia kemudian menjadi manajer akademi Borussia Dortmund, naik ke tim junior, kemudian akhirnya mampu tampil baik bersama Norwich City di Premier League.

"Intinya, Jerman sudah punya struktur dan identitas yang jelas dalam hal pengembangan manajer. Pikiran pertama yang muncul di benak manajemen klub saat mencari manajer tim utama adalah bagaimana caranya mempromosikan manajer tim junior, kira-kira begitu," ujar Webb.

Baca Juga: Kontroversi Marco Reus Tolak Perkuat Jerman di Piala Eropa

2. Punya dewa gegenpressing

Jerman, dari Pabrik Pemain Hingga Telurkan Pelatih Cerdastwitter.com/RBLeipzig_EN

Selain karena didikan yang sudah didapat sejak level junior, salah satu yang membuat manajer asal Jerman melambung adalah kehadiran Ralf Rangnick. Dia bagaikan profesor di bidang kepelatihan Jerman era sekarang.

Rangnick merupakan penemu skema gegenpressing. Karena temuannya, Rangnick berhasil memberikan pengaruh ke beberapa manajer muda Jerman di era 2000-an.

Berkat skema itu, Rangnick berhasil membawa Schalke 04 dan Leipzig menjadi runner-up Bundesliga. Skemanya ini juga jadi inspirasi bagi Klopp, Tuchel, Nagelsmann, dan Rose. Bisa dibilang, Rangnick bagaikan Black Sabbath buat skema yang disebut sebagai heavy metal football oleh Klopp itu.

Skema gegenpressing atau biasa juga disebut counter-press ini memang unik. Tekanan level tinggi, yang dikombinasikan dengan perubahan posisi pemain dalam menekan lawan, sempat menjadi sesuatu yang revolusioner dan sulit dimentahkan. Skema ini secara tidak langsung jadi identitas sepak bola Jerman.

Sederet manajer Jerman yang meraih kesuksesan saat ini, macam Klopp, Tuchel, dan Nagelsmann, mengadopsi skema ini ke tim yang mereka asuh. Namun, mereka melakukan sejumlah penyesuaian demi mengakomodir kepentingan tim dan mengubahnya menjadi versi sendiri. Webb juga tidak menyangkal, Rangnick adalah inspirasi.

"Banyak manajer asal Jerman yang mengadopsi skema gegenpressing Rangnick. Bahkan, skema ini jadi prinsip permainan Jerman sekarang, meski sudah banyak turunan dan variasi yang juga dilakukan oleh para manajer yang mengadopsi skema ini," ujar Webb.

3. Gaya luwes jadi penentu

Jerman, dari Pabrik Pemain Hingga Telurkan Pelatih CerdasManajer Chelsea Thomas Tuchel mencium trofi Liga Champions usai babak final Liga Champions di Estadio do Dragao, Porto, Portugal, Sabtu (29/5/2021) waktu setempat. Gol tunggal Kai Havertz pada menit ke-42 ke gawang The Citizens bawa The Blues jadi juara Liga Champions. ANTARA FOTO/Michael Steel/Pool via REUTERS

Kendati sudah memiliki basis dan skema dasar yang bisa diadopsi, pada akhirnya manajer-manajer Jerman bisa berhasil karena karakter adaptif yang dimiliki. Ini sangat diperlukan buat manajer yang berkarier di luar Jerman. Klopp dan Tuchel adalah dua contoh bagus untuk hal ini.

Bersama Liverpool, Klopp jadi lebih dewasa dan tidak terlalu memaksakan skema gegenpressing masuk di Liverpool. Ada kalanya, Klopp bisa bermain pragmatis, meski harus diakui, skema gegenpressing tetap jadi dasar dari permainan timnya, karena garis pertahanan The Reds kerap tinggi.

Tuchel pun demikian. Ketika menangani Paris Saint-Germain (PSG) dan Chelsea, dia lebih adaptif dan mau berkompromi. Malah, terkadang Tuchel bisa memadukan gegenpressing dengan skema possession football, sesuatu yang benar-benar disukai oleh Pep Guardiola.

Beda dengan Tuchel dan Klopp, Hansi Flick punya karakter lain. Bersama Bayern Munich, dia bisa menerapkan sejumlah skema berbeda, tergantung tim yang dihadapi baik itu di Jerman maupun Eropa. Kendati dasarnya tetap pressing, Flick bisa membuat Bayern bermain lebih fleksibel.

Alhasil, berkat kemampuan adaptasi dan kreativitas yang dimiliki, beberapa manajer asal Jerman berhasil mereguk kejayaan. Jadi, sekarang gelar negara produsen penghasil manajer terbaik tidak hanya dimiliki Italia, tetapi juga Jerman. Mereka punya sistem pendidikan dan basis yang kuat, yang menjadikan mereka bisa sukses di mana saja.

Baca Juga: Timnas Jerman Masih Butuh Pengalaman Hummels dan Mueller

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya