Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola Brasil

Socrates adalah pahlawan Brasil

Jakarta, IDN Times - Dahulu kala, Brasil pernah dikuasai oleh rezim militer. Itu dimulai pada 1962, dan berlangsung dalam waktu yang lama. Rezim represif ini membatasi gerak masyarakat. Tetapi, dari rezim ini juga, lahir seorang anak bernama Socrates Brasiliero de Oliveira.

Kondisi Brasil ketika Socrates lahir serba sulit. Pemerintah melakukan militerisasi dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali sepak bola. Mereka memanipulasi kegembiraan masyarakat usai Brasil menang di Piala Dunia 1970 demi kepentingan politik.

Tidak hanya turut campur urusan di Timnas Brasil, militer juga turut campur dalam aturan-aturan klub di Brasil. Tidak ada lagi kebahagiaan bermain sepak bola. Yang ada hanya bermain sepak bola dengan disiplin dan patuh. Nah, di tengah situasi seperti inilah, Socrates lahir ke dunia.

1. Socrates sudah paham politik sejak kecil

Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola BrasilMg.co.za

Tumbuh di rezim militer, ternyata membuat Socrates memahami politik dari usia yang sangat dini. Saat masih 10 tahun, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana sang ayah membakar buku tentang revolusi kaum Bolshevik.

Kepekaan Socrates terhadap politik makin tajam seiring bertambahnya usia. Meski begitu, dia tetap sama seperti anak-anak Brasil lainnya, menggandrungi sepak bola. Sempat memulai karier di Botafogo, pada 1978, Socrates bergabung ke klub yang kelak membesarkan namanya, Corinthians.

Di klub ini juga, Socrates pelan-pelan menanamkan nilai demokrasi, hingga akhirnya menyebar ke seantero Brasil.

Baca Juga: Tokoh Korup Jadi Pahlawan Kemerdekaan Sepak Bola Asia-Afrika

2. Pergerakan yang Socrates lakukan di Corinthians

Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola BrasilSocrates, pemain Brasil. (twitter.com/@sevenminussix1)

Ketika pertama kali bergabung bersama Corinthians, Socrates awalnya manut dengan aturan yang berlaku. Akan tetapi, lama-lama dia sadar ada yang salah dengan aturan ini. Kebebasan berekspresi semakin sempit. Dari sinilah, dia akhirnya mulai melakukan kritik.

Ketika Corinthians menunjuk presiden klub yang baru, Waldemar Pires, pada 1980, Socrates mencapai kesepakatan dengan klub. Intinya, dia dan rekan satu timnya punya kontrol penuh untuk tim, serta boleh menjalankan demokrasi di klub. Semua orang punya kesempatan bicara, dan semua didasarkan pada konsensus.

Tidak hanya untuk pemain, kebijakan ini juga berlaku untuk staf pelatih dan pendukung di tim. Semua boleh bicara, tetapi harus patuh kepada keputusan mayoritas. Dari sinilah, lahir sebuah istilah bernama Democracia Corinthiana, media yang digunakan Socrates untuk memperkenalkan demokrasi dalam mengelola klub sepak bola.

3. Diskusi jadi bensin pergerakan Socrates

Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola BrasilThe Guardian

Ada satu hal yang jadi bensin pergerakan Socrates dalam memperkenalkan demokrasi di Corinthians, yakni diskusi. Lewat diskusi, Socrates membicarakan banyak hal. Kadang, dia juga mengundang orang-orang di luar sepak bola, seperti seniman atau penyanyi, untuk ikut berdiskusi di Corinthians.

Setiap malam, Socrates dan para pemain Corinthians tidak tidur cepat. Mereka tetap mendiskusikan banyak hal, mulai dari bagaimana caranya membangun Corinthians agar berhasil, hingga persoalan remeh, macam kapan bus boleh berhenti di jalan agar pemain bisa ke toilet atau istirahat.

Saat Corinthians menjuarai Liga Brasil pada 1982, dia dan kawan-kawannya pun berinisiatif mencetak tulisan 'Democracia' di jersey tim. Sebuah keberanian yang absolut, di tengah represifnya rezim militer Brasil kala itu. Socrates pada akhirnya tidak diciduk pemerintah.

Socrates adalah kapten Timnas Brasil di Piala Dunia 1982. Bersama Zico, dia jadi sosok yang populer, kendati gagal membawa Brasil juara. Karena alasan inilah, mungkin, Socrates pada akhirnya tidak ditangkap pemerintah.

4. Belajar sejarah pergerakan buruh Antonio Gramsci ke Italia

Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola BrasilFIFA

Selepas Piala Dunia 1982, perjuangan untuk Brasil yang lebih demokratis tetap dilanjutkan Socrates. Namun, pada 1984, dia justru memutuskan pergi keluar Brasil. Dia main di Fiorentina kala itu. Banyak yang mengira perjuangan Socrates akan berhenti. Nyatanya tidak.

Di Brasil, Democracia Corinthiana tetap berlanjut. Malah, jangkauannya sekarang makin luas, hampir menyentuh seluruh masyarakat Brasil. Di Italia, Socrates tidak cuma numpang main bola. Dia belajar sejarah pergerakan buruh Antonio Gramsci dari bahasa aslinya langsung.

"Saya di sini (Italia) untuk membaca Gramsci dalam bahasa aslinya, dan untuk mempelajari sejarah dan gerakan para pekerja," ujar Socrates.

Tidak lama Socrates berada di Italia. Pada 1986, dia memutuskan kembali ke Brasil. Setahun sebelumnya, rezim militer di Brasil usai. Corinthians, dimotori Socrates tentunya, akhirnya mampu membawa demokrasi kembali ke Negeri Samba, setelah terenggut sekian lamanya.

Setelah demokrasi di Brasil kembali, Socrates tetap melanjutkan karier sepak bolanya. Dia sempat membela Flamengo, Santos, dan akhirnya pensiun di Botafogo. Dia juga pernah main untuk Garforth Town pada 2004, tetapi itu hanya berlangsung dalam satu laga saja.

5. Ucapan Socrates yang inspiratif

Socrates: Pahlawan Demokrasi dalam Tarian Sepak Bola BrasilFourFourTwo

Sebagai pesepak bola dengan intelektualitas politik yang tinggi, ada beberapa ucapan Socrates yang cukup mengena. Salah satunya dia tuturkan ketika Brasil mengadakan pemilu multipartai pertama pada 1982 silam, yang bertepatan dengan momen Corinthians menjuarai Liga Brasil.

"Tim ini (Corinthians) adalah yang terbaik, karena lebih dari sekadar olahraga. Kemenangan politik saya lebih penting dari kemenangan sebagai pemain sepak bola profesional. Pertandingan sepak bola hanya berlangsung selama 90 menit. Setelah itu, hidup terus berjalan," ujar Socrates.

Atas perjuangannya mengembalikan demokrasi ini, Socrates pun disebut oleh Dilma Rousseff, mantan Presiden Brasil, sebagai anak emas. Dia benar-benar peduli akan masyarakat dan negara Brasil, tempatnya tinggal dan bermain sepak bola.

"Di atas lapangan, dia (Socrates) adalah pemain yang sangat jenius. Namun, di luar lapangan, dia benar-benar seperti politikus yang sangat memperhatikan Brasil," ujar Rousseff.

Itulah sekelumit kisah Socrates, yang sukses membawa demokrasi yang hilang, kembali ke Corinthians dan Brasil.

Baca Juga: Menjadi Merdeka Seperti Athletic Bilbao

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya