Beratnya Lebaran Pemburu Mimpi di Bosnia

Kultur berbeda hingga harus bertahan dari rasa rindu

Jakarta, IDN Times - Idulfitri 1442 Hijriah yang jatuh pada Kamis (13/5/2021) akan terasa berbeda bagi pemain Indonesia, Miftah Anwar Sani. Untuk pertama kalinya, Miftah harus berlebaran sangat jauh dari keluarga, di Bosnia.

Kalau lebaran jauh dari keluarga, misal di daerah lain Indonesia sudah biasa. Tapi, ini Bosnia. Negara yang terbilang jauh dari Indonesia.

Pastinya, ada rasa kangen yang teramat dalam dirasakan oleh Miftah. Apalagi, selama ramadan, Miftah tentunya tak merasakan kehangatan suasana seperti di Indonesia.

Ya, memang ramadan di Bosnia terasa biasa saja. Tak ada hal spesial, menurutnya. Sebab, ramadan di Bosnia tak seperti di Indonesia yang disambut begitu meriah.

Meski memiliki komunitas muslim yang cukup besar, ramadan di Bosnia terasa seperti kehidupan biasa.

"Pagi-pagi juga banyak orang minum kopi di kedai. Restoran buka, biasa sih kalau di sini. Ada yang puasa, muslimnya juga cukup besar, 40 sampai 50 persen. Tapi, semua berjalan normal. Tak semewah di Indonesia," kata Miftah kepada IDN Times.

Nah, kalau ramadan terasa biasa di sana lebaran pastinya demikian. Lalu, bagaimana sih perasaan Miftah berlebaran di Bosnia?

Baca Juga: Serunya Puasa 17 Jam Pemain Indonesia di Bosnia

1. Dilanda homesick

Beratnya Lebaran Pemburu Mimpi di BosniaMiftah Anwar Sani. (sportsport.ba).

Homesick pastinya jadi yang paling menghantui Miftah saat harus berlebaran di Bosnia. Namun, itu harus dijalaninya karena status sebagai pemain dari FK Sloboda Tuzla.

Miftah tak punya pilihan, selain menjalankannya. Sebab, kompetisi di Bosnia masih berjalan dan belum ada jeda.

Diakui olehnya, sempat merasakan homesick. Terlebih, akan ada yang hilang dari lebaran kali ini, yakni waktu berkumpul dengan keluarga.

"Kalau lebaran, saya biasanya ke rumah nenek. Mudik lokal sih, mungkin dari rumah saya ke sana cuma sekitar 20 menitan lah. Di sana, kami berkumpul. Keluarga makan bersama. Ya homesick pasti, tapi nanti saat kumpul saya coba video call mereka," ujar Miftah.

2. Kangen masakan ibu

Makanan rumah juga jadi salah satu sebab Miftah homesick. Pria 25 tahun itu bercerita, ibunya memang jago masak.

Ada beberapa makanan khas lebaran yang selalu jadi incaran Miftah. "Masakan lebaran di rumah yang paling enak, opor ayam, pakai rendang, ketupat, aduh sudah lah. Sedih kalau dibayangin mah," canda Miftah.

Memang, lidah Miftah sudah sangat lama tak merasakan makanan Indonesia. Tak ada makanan yang rasanya mirip atau menyerempet ciri khas Indonesia.

Adapun makanan yang cukup bikin rasa kangen Miftah terhadap Indonesia adalah nasi kebuli. Dia bisa mendapatkannya di restoran Turki.

"Agak sedikit mirip lah. Tapi, kemarin saya juga terima kiriman ayam bumbu kuning. Mirip sih rasanya dengan Indonesia. Bersyukur banget dapat itu, setengah kilo. Tapi tetap, makannya pakai roti lagi," jelas Miftah.

3. Benar-benar bagai hari biasa

Lebaran nanti juga akan terasa seperti hari biasa bagi Miftah. Sebab, pada Kamis sore waktu setempat, FK Sloboda harus berduel melawan FK Sarajevo.

Jadi, Miftah harus bekerja pula di atas lapangan hijau kala lebaran. Sesuatu yang tak pernah terjadi buat para pemain di Liga 1 atau 2 Indonesia.

"Ya mau bagaimana lagi, jalani saja, nikmati," kata Miftah.

Usai laga, Miftah sudah punya rencana untuk pergi ke Sarajevo atau Belgrad, menemui warga negara Indonesia lain yang kebetulan juga merayakan lebaran. Miftah berencana ingin melepas kangen suasana lebaran di sana.

"Mungkin mengunjungi KBRI atau bisa juga ke Belgrad. Di Belgrad lebih banyak orang yang saya kenal. Kalau di kota saya, WNI cuma saya sendiri. Ada sih tapi cukup jauh dari lokasi saya tinggal. Wanita yang menikah dengan orang lokal," ujar Miftah.

4. Pengalaman sebulan puasa di Bosnia

Beratnya Lebaran Pemburu Mimpi di BosniaInstagram @miftahanwarsani / Pemain Indonesia di FK Sloboda Tuzla, Miftah Anwar Sani (kanan)

Puasa di Bosnia, menurut Miftah, cukup menantang. Selain karena waktu yang lebih lama ketimbang Indonesia, mencapai 17 jam, kultur di Bosnia benar-benar menguji Miftah.

Sebab, selama ramadan tak ada toko atau restoran yang tutup di siang hari. Kegiatan berjalan seperti biasa. Warga minum kopi di kedai dengan santainya. Restoran pun penuh dengan orang.

Meski komunitas muslim cukup besar, hal tersebut tak berarti bagi kehidupan di Bosnia selama ramadan.

"Kultur yang beda, selain jam puasa lebih lama. Lingkungan di Indonesia kan mendukung. Tapi, kalau di sini, kedai kopi dan restoran buka. Lihat orang-orang minum kopi pagi hari. Ada sih yang puasa, lumayan banyak muslimnya, sekitar 40 sampai 50 persen. Tapi, situasinya seperti normal. Jadi, itu tantangannya," ujar Miftah.

Soal waktu yang lebih lama, Miftah punya triknya. Dia lebih banyak mengonsumsi karbohidrat padat seperti pasta, roti, dan lainnya. Porsi makanannya pun ditambah.

Meski juga diuji dengan jam latihan pagi atau sore hari, Miftah masih bisa bertahan. Puasanya tak ada yang bolong.

"Pelatih tahu kalau saya puasa. Ada juga pemain yang puasa. Cuaca di sini kan sejuk ke dingin. Cukup membantu saya dalam menjalankan ibadah puasa," terang Miftah.

Baca Juga: Miftah Anwar Sani, dari Persita hingga Tembus Kompetisi Eropa

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya