Piala Dunia U-20 Indonesia dan Kontroversi di Argentina 1978

Indonesia menghadapi situasi pelik

Jakarta, IDN Times - Polemik yang berkembang di Indonesia terkait penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023, mengingatkan kita pada Piala Dunia 1978 silam di Argentina. Situasi di Argentina, kala itu lebih ruwet ketimbang Indonesia, namun pada akhirnya Piala Dunia tetap bisa dilangsungkan.

Dua tahun sebelum Piala Dunia diselenggarakan, Argentina sebenarnya sempat dilanda kudeta yang dinamakan Reorganisasi Nasional. Jenderal Rafael Videla pada akhirnya muncul sebagai pemimpin, membuat pemerintahan Argentina kembali dikuasai oleh Junta Militer.

1. Isunya lebih fokus ke pelanggaran HAM

Piala Dunia U-20 Indonesia dan Kontroversi di Argentina 1978Argentina melawan Peru pada fase grup kedua Piala Dunia 1978. (fifa.com)

Segala macam sendi kehidupan, harus dikontrol oleh Junta Militer. Bahkan, persiapan Argentina dalam menyelenggarakan Piala Dunia juga dipimpin oleh rezim diktator dan mengundang protes dari sejumlah aktivis.

Di bawah arahan Videla, Argentina bersiap menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978. Tapi, masalah yang sering dibahas kala itu adalah soal pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena muncul fakta, ribuan orang hilang tanpa jejak, seiring dengan protes penolakan terhadap Piala Dunia 1978.

Mereka yang hilang bukan cuma aktivis. Anggota serikat buruh, mahasiswa, jurnalis yang kritis, artis, hingga individu yang berani melayangkan kritik terhadap pemerintahan Junta Militer, mendadak ditelan bumi.

Baca Juga: PSSI Bingung Aksi Tolak Israel di Piala Dunia U-20 Baru Meledak

2. Peserta sempat mau mundur, tapi turnamen bisa diselenggarakan

Piala Dunia U-20 Indonesia dan Kontroversi di Argentina 1978Argentina kalah melawan Italia pada Piala Dunia 1978. (fifa.com)

Situasi ini disadari para peserta Piala Dunia 1978 kala itu. Mereka pun sempat melakukan penolakan dan memikirkan untuk mundur dari turnamen.

Tapi, pada akhirnya semua negara mau ikut. Turnamen diselenggarakan dan lancar sampai final dilangsungkan.

Sepanjang turnamen, pemerintahan Videla menggunakannya sebagai alat politik. Anggota dari Junta Militer diberikan pakaian seperti warga biasa. Beberapa dari mereka juga berdandan rapi, dan dibentuk citranya sebagai orang yang rendah hati serta mau berkompromi.

3. Ancaman penculikan ke sejumlah bintang

Piala Dunia U-20 Indonesia dan Kontroversi di Argentina 1978planetfootball.com

Anggapan miring soal Argentina sebenarnya muncul ketika Belanda dan Jerman tak bisa diperkuat pemain terbaiknya. Johann Cruyff dan Franz Beckenbauer tak berpartisipasi. Mereka absen karena diancam akan diculik. Diduga, ancaman penculikan juga muncul dari rezim diktator Argentina.

Dari insiden-insiden ini, Argentina pun diduga diuntungkan karena beberapa pemain bintang tak datang. Jadilah, skuad mewah mereka yang dipimpin Mario Kempes berjaya.

Argentina berhasil menjadi juara di tanah sendiri. Namun, tetap ada nada sumbang yang diterima, kalau mereka juara karena aksi kotor pemerintahannya.

Baca Juga: Erick Thohir Lapor Jokowi Usai Undian Piala Dunia U-20 Batal

4. Indonesia harus belajar

Piala Dunia U-20 Indonesia dan Kontroversi di Argentina 1978Ilustrasi ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia (Fifa.com)

Dengan apa yang terjadi di Argentina, setidaknya bisa jadi gambaran. Kondisi politik Argentina yang sudah dikuasai rezim diktator dan mendapat penolakan dari rakyatnya, tetap bisa menggelar Piala Dunia pada 1978.

Sudah seharusnya, Indonesia bisa bersikap lebih dewasa. Sebab, pada dasarnya, sepak bola dan politik adalah sisi yang berbeda.

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya