Thomas Tuchel, dari Pelayan Bar ke Final Liga Champions

Tak ada yang menyangka jalan hidup Thomas Tuchel

Jakarta, IDN Times - Perjalanan manajer Chelsea, Thomas Tuchel, begitu berwarna. Tak pernah disangka, Tuchel yang tadinya cuma seorang pelayan bar, kini menjadi manajer atau pelatih kelas dunia.

Dia sukses mengantarkan tim asuhannya, main di final Liga Champions sebanyak dua kali. Musim lalu, Tuchel mengantarkan Paris Saint-Germain ke final Liga Champions.

Kali ini, Tuchel mampu membawa Chelsea ke partai puncak pula. Sudah dua musim beruntun, Tuchel melakukannya. Tentu, itu bukan prestasi yang sembarangan.

Perlu kecerdasan yang tinggi untuk menciptakan prestasi tersebut. Sebuah hal yang tak terduga dari seorang Tuchel.

Baca Juga: Fans ManCity dan Chelsea Tawuran Jelang Final Liga Champions

1. Pensiun dini dan berakhir jadi pelayan bar

Thomas Tuchel, dari Pelayan Bar ke Final Liga Championsthesun.co.uk

Karier sepak bola Tuchel sejatinya tak mentereng amat sebagai pemain. Dia terpaksa pensiun dini, di usia 25 tahun.

Penyebabnya adalah cedera lutut yang begitu parah dan dokter menyatakannya tak bisa bermain lagi.

Dalam situasi tersebut, Tuchel memutuskan untuk meneruskan studinya di bidang ekonomi. Sambil kuliah, Tuchel akhirnya memutuskan kerja sambilan sebagai pelayan bar.

Tugasnya, kala itu harus mengangkat dan membersihkan gelas-gelas kotor di bar bernama Rock Barth, Stuttgart. Tuchel juga harus membersihkan dapur hingga pukul 15.00 waktu setempat. Setelahnya, dia berperan sebagai bartender.

Karena perjalanan kariernya ini, Tuchel merasa mirip Tom Cruise yang berakting di film Cocktail pada 1988 silam.

"Mungkin tak seperti Tom Cruise. Tapi, kisah hidup saya seperti Tom Cruise," canda Tuchel dilansir Daily Mirror.

"Saya harus bekerja keras untuk sampai ke sini. Ketika saya memulainya, harus mengangkat napan, membawa gelas kotor, hingga penuh. Saya jadi pengumpul gelas kotor, lalu dua tahun kemudian, promosi sebagai bartender," lanjutnya.

Tuchel mengakui terpaksa pensiun dini sebagai pemain karena tak memiliki asuransi. Jadi, dia harus mengumpulkan uang untuk keperluan lainnya.

"Ada yang saya pakai buat keperluan rehabilitasi dan kembali berlaga setelah lebih dari setengah tahun. Pelajaran berharga. Kehidupan yang berbeda sama sekali karena membuat saya menghargai hidup, meningkatkan kepercayaan diri dalam jalur positif," ujar Tuchel.

2. Tawaran yang mengubah hidup

Thomas Tuchel, dari Pelayan Bar ke Final Liga Championsfifa.com

Berstatus sebagai mantan pemain Stuttgart, Tuchel mendapat kesempatan buat meniti karier sebagai pelatih. Dia ditawarkan oleh Ralf Rangnick, yang kala itu duduk di jajaran manajemen Stuttgart. Tuchel tak membuang kesempatan. Dia tinggalkan pekerjaan sebagai pelayan di bar.

Hingga akhirnya, dia mendapat sertifikasi dan bekerja di tim muda Stuttgart pada usia 27 tahun. Bakat Tuchel terus terasah. Dia kemudian promosi ke FC Augsburg II. Hingga akhirnya, Tuchel menuju FSV Mainz.

Di sana, Tuchel cukup sukses. Kemampuan Tuchel mulai dilirik klub-klub Bundesliga. Pada 2015, Tuchel pun menjadi pengganti sepadan buat Juergen Klopp di Borussia Dortmund. Hingga akhirnya, Tuchel menjelma jadi salah satu pelatih papan atas dunia dan direkrut PSG.

Dinamika hidup yang tak biasa. Namun, Tuchel mengaku banyak yang bisa dipelajari dari hidupnya itu.

3. Pelatih yang selow

Thomas Tuchel, dari Pelayan Bar ke Final Liga Championsfootball.london

Karakter Tuchel juga berubah sepanjang perjalanan karier sebagai pelatih profesional. Raut wajahnya memang terlihat kaku, tapi sebenarnya Tuchel merupakan pria yang jenaka.

Bersama Dortmund, PSG, dan Chelsea, Tuchel dikenal sebagai juru taktik yang suka berguyon. Bahkan, para pemain tak ragu untuk menjadikannya bahan candaan.

"Jangan terlalu serius dalam hidup. Rasanya nikmat, tapi saya merasa tetap hormat jika mereka tertawa dengan cara yang tak pantas. Kami tertawa dan memang saya memerlukannya. Saya perlu juga menertawakan diri sendiri. Itu jadi bagian untuk menyatukan hubungan," terang Tuchel.

Dalam artian, Tuchel tak masalah kalau anak-anak asuh menggunakannya sebagai badut. Sebab, Tuchel yakin masih ada rasa segan dalam diri para pemain terhadapnya.

"Tak ada tempat lebih jenaka ketimbang ruang ganti tim sepak bola. Mustahil kamu menemukannya di belahan dunia lain. Banyak kesenangan di sana. Kalau pemain berpikir pelatihnya gila, itu bagus. Jika mereka takut dengan pelatihnya, bagus, malah lebih baik. Takut itu bagus, dan jika bisa mengombinasikannya dengan kejenakaan, mallah lebih baik," jelas Tuchel.

Baca Juga: Kisah Bintang Chelsea Nyaris ke ManCity Panaskan Final Liga Champions 

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya