[WANSUS] Pentolan The Jakmania: Rivalitas Gak Boleh Kebablasan!

Rivalitas hanya 90 menit

Jakarta, IDN Times - Salah satu 'pentolan' The Jakmania, Irlan Alarancia, punya pesan kepada rekan-rekan dan kelompok suporter lainnya. Irlan bertutur, rivalitas antar suporter sepak bola Indonesia tidak boleh kebablasan.

Selain pesan yang diberikan, pria yang karib disapa Abi Irlan itu juga bercerita bagaimana dirinya bisa menjadi The Jakmania yang totalitas mendukung Macan Kemayoran. Ternyata, kecintaan Irlan kepada sepak bola berawal dari aksi mahasiswa.

IDN Times berkesempatan mengulik sedikit kisah Abi Irlan. Mau tahu apa ceritanya? Yuk, simak wawancara khusus berikut ini.

Baca Juga: [WANSUS] Cerita Kapten Persita Gagal Gabung ke Bali United

Abi Irlan, ceritain dong bagaimana bisa jadi The Jakmania

Gue di Jakmania itu sejak pertengahan 1999, setelah krisis 98. Kenapa aktif di Jakmania, waktu itu sempat aktif juga dalam kegiatan mahasiswa. Setelah Soeharto turun, kita aksi nuntut B.J. Habibie turun.

Nah, di situ gue lihat suporter udah mulai bergeser isu dan idealismenya. Akhirnya gue nonton bola dan sampai sekarang masih cinta. Sejak saat itu, sekarang, sudah lebih hampir 25 tahun di Jakmania.

Menurut pandangan Abi Irlan, perkembangan Jakmania seperti apa?

Perkembangan Jakmania kan mengikuti kultur sepak bola kita di Indonesia. Awalnya kan gue melihatnya hanya sebatas penonton semasa masih perserikatan. Mereka dukung bola karena fanatisme kedaerahan.

Sejak mulai era profesional, ada Galatama, baru mulai kebentuk suporter. Termasuk Aremania, yang benar-benar dukung klub bukan fanatisme kedaerahan.

Kemudian Jakmania lahir 1997. Kulturnya masih sama dengan sepak bola saat itu. Seiring perkembangan zaman, teman-teman mulai ada pergeseran. Ada yang berkultur hooligan, seperti teman-teman di Tiger Boys. Kita masih mania-maniaan, belum ada ultras waktu itu.

Saat ini kultur sepak bola Indonesia mulai banyak, pergeseran kultur itu bermula dari mana, ya?

Semakin orang mengenal sepak bola, mereka akhirnya mencari identitas dan eksistensi. Perkembangan era media sosial juga memduahkan mereka mencari informasi.

Kita mengikuti kultur dari barat, karena kiblat sepak bola berasal dari sana. Semua mencontoh mereka, dan banyak juga film tentang fanatisme sepak bola yang akhirnya ditiru. Ada casual, hooligan, ultras dan semacamnya.

Suporter identik dengan keributan. Kalau era sekarang, pandangan Abi Irlan seperti apa?

Kalau ribut suporter itu ya masing-masing mau menunjukkan kalau 'ini tuh klub gue'. Kalau kita contoh kultur luar, mereka juga menonjolkan fanatismenya dari ribut. Mungkin teman-teman mencontoh itu dari budaya barat.

Memang sudah seperti alami ribut masing-masing kelompok suporter membela fanatisme kedaerahannya. Alhamdulillah, semenjak Tragedi Kanjuruhan, suporter Indonesia mulai membuka diri. Kita sadar rivalitas ini sudah kebablasan. 

Fanatisme suporter Indonesia sudah terlalu melebar. Kalau di luar, kan, hanya sebatas menjelang, saat pertandingan atau sesudahnya. Tapi, kalau di Indonesia ini misal Jakmania melihat ada orang pakai baju Viking (fans Persib), kan bisa bermasalah tuh. Bisa dipukulin bahkan lebih dari itu. Di daerah lain pun sama, seperti itu juga.  

Rivalitas kita itu sudah kebablasan. Teman-teman alhamdulillah juga sudah intropeksi diri. Rivalitas itu harusnya hanya 90 menit.

Abi Irlan kok mau jadi pengurus Jakmania? Kan ruwet?

Gak nyangka juga, sih, bisa begini. Sampai teman-teman di sekolah menilai gue 'Persija habis'. Ya, sebenarnya gak ada niatan juga. Karena kita enjoy jalaninnya, dengan hati nurani, kayak manis saja rasanya.

Apa sih momen tak terlupakan sebagai Jakmania?

Bagi gue, Persija itu panggilan jiwa. Semua yang ada di hidup gue pun harus ada nuansa Persija. Kalau gak ada, kaya hampa aja rasanya.

Kalau momen tak terlupakan, tuh waktu musim 2000. Selangkah lagi kita melangkah masuk final dan juara. Tapi, kita kalah sama PSM di semifinal. Waktu itu gue sampai nangis ke Bung Fery, dan ngomong begini; 'Kenapa ya bung, kita kurang apa sebagai suporter? Kita udah maksimal tapi Persija gak juara-juara juga'.

Terus 2018. Bagi gue itu tahun emas Persija dan Jakmania. Kita selalu tandang dengan puluhan ribu suporter yang berangkat. Kita juga berhasil dapet dua gelar pada tahun itu. Piala Presiden sama Liga 1. Dan saat merayakannya, rasanya konvoi terbesar.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya