Indonesia Masih Rentan Akan Serangan Siber

Indonesia kekurangan tenaga ahli keamanan siber

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, hampir semua sektor di berbagi negara sudah menggunakan teknologi internet untuk memudahkan pekerjaan. Sayangnya, perkembangan teknologi ini membuat metode dan jenis kriminalitas menjadi semakin berkembang. 

Cybersecurity atau keamanan siber merupakan proses perlindungan sistem, data, jaringan, dan program dari ancaman atau serangan digital.

Dengan maraknya kasus kebocoran data dan hadirnya hacker, seperti Bjorka, SecLab BDO Indonesia mengadakan acara Media Gathering pada Jumat (23/9/2022) untuk memberikan informasi terkait keamanan siber dan pencegahan kebocoran data. 

Acara ini menghadirkan Harry Adinanta, Cyber Security Director SecLab BDO Indonesia, dan Keith Douglas Trippie, Senior Cyber Security and Data Privacy Advisor BDO, sebagai narasumber. 

1. Penggunaan internet di Indonesia semakin banyak

Indonesia Masih Rentan Akan Serangan Siberilustrasi layanan cloud (unsplash.com/Caspar Camille Rubin)

Harry memaparkan bahwa penggunaan internet di Indonesia memiliki angka yang semakin meningkat. Tercatat penggunaan teknologi internet mencapai 64% dari total jumlah penduduk, atau sekitar 175,4 juta jiwa. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 17% dibandingkan dengan jumlah pengguna internet pada tahun sebelumnya.

Masyarakat Indonesia menggunakan teknologi internet untuk berbagai macam transaksi, baik itu untuk kepentingan pribadi maupun bisnis. Hal ini tentunya membuat data individu semakin mudah diakses menggunakan internet. 

Keamanan data menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam besarnya tingkat ketidakpercayaan pengguna internet dalam transaksi e-commerce

2. Terdapat lebih dari 700 serangan siber di Indonesia

Indonesia Masih Rentan Akan Serangan Siberilustrasi serangan siber (unsplash.com/freestock)

Berdasarkan laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tercatat lebih dari 700 juta serangan siber yang terjadi di Indonesia di tahun 2022. Baru-baru ini, terjadi kebocoran data registrasi kartu SIM.

Sebelum kasus tersebut, telah terjadi insiden besar yang melibatkan data kesehatan e-HAC, data kementerian, BUMN, hingga data pelanggan di e-commerce ternama. Ini hanya lah beberapa contoh kasus keamanan siber yang terjadi di Indonesia. 

"Individu bisa dirugikan karena kebocoran data, contohnya data disalahgunakan ketika apply kredit atau tidak bisa mendaftar pelayanan publik karena data diindikasikan terkait penipuan. Bisnis dan lembaga pemerintahan juga dirugikan karena reputasi mereka tercoreng," ucap Harry. 

3. Indonesia kekurangan tenaga ahli keamanan siber

Indonesia Masih Rentan Akan Serangan Siberilustrasi tenaga ahli siber (unsplash.com/Shamin Haky)

Salah satu alasan yang membuat Indonesia rentan akan serangan siber adalah kurangnya tenaga ahli keamanan siber.

Survei yang dilakukan oleh SecLab BDO Indonesia menemukan bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi memutuskan untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber.

Kurangnya tenaga ahli ditambah dengan pengetahuan masyarakat yang masih kurang terkait keamanan siber pribadi membuat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi para hacker dengan niat jahat. 

"Namun pesatnya perkembangan teknologi, membuat kejahatan siber lebih gencar dan cepat dibanding berbagai perbaikan. Salah satu akar masalahnya adalah ketersediaan tenaga ahli," ungkap Harry. 

Baca Juga: HUAWEI Smart D Segera Hadir di Indonesia, Bisa Ukur Tekanan Darah

4. Hacker memiliki motif yang beragam

Indonesia Masih Rentan Akan Serangan SiberIlustrasi Hacker (IDN Times/Arief Rahmat)

Keith menjelaskan ada banyak motif yang mendasari serangan siber. Serangan ini sering kali didasari oleh motif finansial sehingga institusi perbankan paling sering menjadi sasaran serangan siber.

Selain motif finansial, contoh serangan siber lain adalah serangan yang didukung oleh pemerintah (state sponsored attack) yang terjadi terhadap SolarWinds. Serangan rantai pasok juga sempat terjadi pada Quanta, perusahaan yang menyuplai produk Apple.

"Dampak kerugian akibat serangan siber global diperkirakan mencapai 2 Kuintiliun Dolar AS di awal 2022 kemarin, meningkat jauh dari 400 Miliar Dolar AS di tahun 2015, dan kerugian dari ransomware saja bisa mencapai 265 Miliar Dolar AS di tahun 2031. Sudah saatnya perusahaan di Indonesia memperkokoh ketahanan sibernya di tahun ini, dan mempersenjatai diri dengan framework keamanan siber yang jelas agar tidak menjadi korban berikutnya," jelas Keith. 

5. Perlunya kolaborasi untuk meingkatkan keamanan siber Indonesia

Indonesia Masih Rentan Akan Serangan Siberilustrasi kerja sama (unsplash.com/Cytonn Photography)

Hingga saat ini, pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi masalah keamanan siber dan kebocoran data. Salah satunya upaya yang dilakukan adalah UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan.

Selain meningkatkan keamanan dari segi hukum, perlu adanya kolaborasi semua pihak agar keamanan siber di Indonesia bisa ditingkatkan. Salah satu aspek penting yang harus ditingkatkan adalah kesadaran masyarakat dalam menggunakan teknologi internet.

SecLab BDO Indonesia telah melakukan pelatihan, seminar, dan juga program kolaborasi, seperti Wreck It. Ini merupakan sebuah kompetisi hacking kolaborasi bersama BSSN yang bertujuan untuk mencari bakat-bakat baru dalam bidang keamanan digital. 

 

Keamanan siber menjadi hal yang sangat penting karena hampir semua sektor telah menggunakan teknologi internet. Kurangnya tenaga ahli di bidang keamanan siber dan kurangnya kesadaran masyarakat membuat Indonesia menjadi rentan terhadap serangan siber. 

Baca Juga: 6 VPN Terbaik untuk Windows 2022, Aman dan Cepat!

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya