Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh Tenggara

Ada sekitar 30-50 orangutan yang telah habituasi

Aceh Tenggara, IDN Times - Orangutan merupakan salah satu dari belasan satwa yang dilindungi di Indonesia. Bahkan, primata yang juga dikenal dengan nama Pongo abelii ini termasuk satu dari empat satwa kunci di kawasan hutan Leuser.

Di Aceh sendiri hutan Ketambe atau tepatnya di kawasan Stasiun Penelitian Ketambe yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, menjadi tempat habitat primata tersebut. 

Stasiun yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) serta Forum Konservasi Leuser (FKL) tersebut kerap dijadikan tempat penelitian orangutan bagi para peneliti.

Mau tahu bagaimana aktivitas orangutan di tempat yang kerap menjadi laboratorium bagi peneliti botani dan zoologi tersebut? Berikut perjalanan IDN Times mencari keberadaan orangutan.

1. ‘Kelly’ menyambut kedatangan kami dari dahan pohon ficus

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraSatu individu orang utan bermain di ranting pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Asap tipis terlihat menyembur dari empat gelas kopi di atas meja yang ada di hadapanku, Arwin, Yulham, dan Junaidi. Minuman itu baru saja dihidangkan seorang perempuan paruh baya untuk kami yang sedang asik berbincang tentang orangutan.

“Bi, saya gak bisa kenak kopi pagi-pagi. Gak tahan lagi lambung. Saya dibuatkan teh saja,” ujar Junaidi meminta minumannya diganti dengan teh kepada wanita yang akrab disapa Bibi tersebut.

“Lah, tapi biasanya ngopi!” sahut Bibi, perempuan yang bertugas sebagai juru masak dari Stasiun Penelitian Ketambe ini.

Junaidi dan Bibi memang sudah saling kenal, sebab pria berprofesi sebagai fotografer ini memang terbilang sering mengunjungi tempat yang dikenal sebagai salah satu kawasan habitat orangutan di Indonesia tersebut.

Tak hanya dengan Bibi, Junaidi juga akrab dengan Arwin, pria yang sebelumnya menyambut kedatangan saya, Zulham, dan Junaidi ke tempat itu pada, Minggu (4/4/2021).

Arwin sendiri merupakan orang penting di tempat riset yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) serta Forum Konservasi Leuser (FKL) tersebut. Ia menjabat sebagai kepala Stasiun Penelitian Ketambe.

Matahari masih berupaya menembus sela pepohonan di kawasan Leuser, Aceh Tenggara yang masih berselimut kabut. Sedangkan perbincangan kami masih hangat dengan orangutan meski tak ada kacang ataupun makanan ringan lainnya di meja yang kami duduki.

Sambil menyerut kopi dihadapannya, Arwin pun berkeluh bagaimana upaya ia beserta anggota stasiun lainnya yang dalam beberapa hari terakhir mencari keberadaan orangutan namun tak menemukannya.

“Sudah lebih dua hari ini orangutan gak nampak. Padahal sudah kami cari juga sampai masuk ke dalam,” keluh Arwin menceritakan sulitnya menemukan primata yang keberadaannya kini mulai langka.

Jauh sebelum ketibaan kami ke stasiun penelitian ini, pria berusia 41 tahun itu memang telah berjanji kepada saya, Junaidi, Yulham, dan beberapa rekan jurnalis lainnya untuk menunjukkan keberadaan orangutan ketika rombongan akan berkunjung ke stasiun penelitian yang ada sejak 1971 tersebut.

Disela pembicaraan, Bibi kembali datang sambil membawa segelas teh yang diminta Junaidi. Teh itu diseruputnya berlahan sambil matanya melirik ke arah dahan pepohonan di belakang dapur Stasiun Penelitian Ketambe tak jauh dari tempat kami berkumpul.

Pria itu lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah masuk ke dalam hutan dan meninggalkan saya, Zulham, dan Arwin yang masih asik membahas keberadaan orangutan di pusat riset tersebut.

Dari posisi kami duduk, alur Sungai Alas jelas terlihat. Tak sampai seujung mata. Gemuruh airnya menghantam bebatuan pun dapat dengan mudah ditangkap oleh indera pendengaran, selain alunan kicauan burung dan raungan serangga yang saling bersahutan.

Asap tipis masih menyembul di gelas milik Junaidi meski sebagian isinya telah diserut. Tiba-tiba pria itu kembali dengan langkah terpacu sembari menebarkan senyum.

“Ada orangutan satu, di pohon situ,” kata Junaidi, seolah memberitahu kepada kami bertiga yang sedari tadi masih asik membahas tentang primate langka tersebut.

Pembicaraan kami pun terhenti. Sejurus kemudian, gelas berisi kopi dan teh yang sebelumnya telah dihidangkan langsung sontak tak bertuan.

Langkah kami saling memacu menyusur masuk ke dalam hutan. Sedangkan setiap mata tertuju pada dahan yang mengayun tanpa melodi.

“Jangan ribut-ribut ya," ujar Junaidi meminta kepadaku agar tidak menimbulkan kegaduhan ketika menunjukkan posisi salah satu satwa kunci di Taman Hutan Gunung Leuser itu.

Di balik dedaunan hijau, terlihat satu orangutan yang menggantung di ujung dahan pohon rambong uahuah. Ia tanpak begitu tenang memetik buah berukuran biji kopi robusta tersebut dari tangkai dan memakannya.

Bukannya beranjak masuk ke dalam hutan, primata tersebut malah semakin mendekati pohon di belakang dapur. Sehingga buah rambong uahuah yang masih terselip di mulutnya jelas terlihat tanpa bantuan teropong sekalipun.

Penampakan seperti ini berlangsung lebih kurang dua jam. Setelah itu, orangutan itu pun kembali masuk ke dalam belantara Taman Nasional Gunung Leuser.

“Klik, klik, klik,” beberapa momentum aktivitas satwa langka itu pun tak ingin dilewatkan begitu saja dari lensa kameraku.

Orangutan itu dikatakan Arwin bernama Kelly. Ia berusia lebih 20 tahunan dan berjenis kelamin betina.

Penampakannya di dahan pohon jenis ficus itu, seolah menyambut kedatangan kami. Padahal sebelumnya tak ada satupun primata langka ini menenjukkan batang hidungnya selama beberapa hari terakhir meski telah dicari ke dalam hutan.

2. Menyusuri hutan kembali mencari orangutan

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraPencarian orang utan di kawasan hutan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Pencarian keberadaan orangutan tak hanya sampai di situ. Arwin kembali mengajak rombongan jurnalis untuk mengikuti mereka memonitor hutan, pada Senin (5/4/2021).

Cahaya matahari pagi itu tidak begitu mampu menembus hingga ke halaman Stasiun Penelitian Ketambe. Sebab gumpalan awan masih tampak mengitari di atasnya.

Usai memastikan semua keperluan selama perjalanan dianggap telah siap, sekitar pukul 10.00 WIB, rombongan mulai bergerak masuk ke dalam hutan.

Di dalam hutan, titik-titik air masih terlihat hampir di semua dedaunan. Sedangkan tanah begitu mudah menyimpan setiap jejak yang telah dilalui rombongan.

Suara deru kendaraan yang lalu-lalang melintas jalan Gayo Lues-Aceh Tenggara pun telah berganti dengan kicauan burung, aungan serangga, serta suara satwa lainnya.

Sejauh mata memandang hanya bisa melihat hijau, merah, coklat dari warna dedaunan dan menggantungnya tanaman menjalar pada pepohonan yang menjulang ke langit. Selebihnya, hanya batang-batang kayu yang telah merebah ke tanah akibat kalah dengan alam.

Monitor sekaligus pencarian keberadaan orangutan di dalam hutan belantara ternyata tidaklah mudah. Tak seperti di hari sebelumnya.

Lebih kurang tiga jam rombongan telah menyusuri jalanan mendaki, menurun, serta melalui alur-alur air, namun belum ada tanda-tanda keberadaan orangutan maupun satwa dilindungi lainnya.

Selain hanya suara monyet, siamang, dan lutung. Suara rangkong menggema di tengah rimba, akan tetapi tak diketahui keberadaannya.

Rombongan pun memutuskan untuk kembali ke stasiun penelitian, mengingat matahari sudah sedikit lebih condong ke barat. Sedangkan perbekalan makan tidak ada dibawa, mengingat patroli dilakukan hanya sementara.

Rombongan telah kembali berada di stasiun penelitian. Sebagian ada yang beristirahat di kamar dan lainnya duduk di dapur, tempat pertama kali saya melihat Kelly.

Tiba-tiba salah seorang petugas memberitahu bahwa ada dua orangutan sedang bermain di dahan pohon ficus. Tak jauh dari posisi ditemukannya Kelly kemarin.

Lagi-lagi momen keberadaan orangutan jantan dan betina seperti itu tidak boleh dilewatkan begitu saja.

Stasiun Penelitian Ketambe merupakan salah satu tempat habitatnya orangutan (Pongo abelii) dan beberapa satwa dilindungi lainnya di Indonesia.

Baca Juga: Berikut 12 Bacaan Bilal dan Jawabannya dalam Salat Tarawih dan Witir

3. Orangutan merasa nyaman di Stasiun Penelitian Ketambe

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraDua individu orang utan bermain di ranting pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Arwin mengatakan, kehidupan orangutan di tempat yang didirikan oleh Herman D Rijksen, warga berkebangsaan Belanda sejak 1971 itu, tidak terganggu dengan keberadaan manusia.

Misalnya seperti tiga orangutan yang terlihat selama dua hari ketika rombongan jurnalis berada di stasiun penelitian tersebut.

Di tempat ini, orangutan akan beraktivitas seperti biasa dan tidak akan kabur saat berjumpa dengan manusia. Walau terkadang jaraknya tak lebih daripada tingginya pohon kelapa.

Hal itu dikarenakan orangutan yang berada di stasiun penelitian tersebut merasa tidak begitu terancam keberadaannya ketika manusia hadir di antara mereka.

Sebab, primata yang merupakan salah satu satwa kunci di Taman Nasional Gunung Leuser tersebut diakui, instingnya begitu kuat dan daya pengenalan hampir sama layaknya manusia.

Orangutan dikatakan Arwin, akan tahu jika ada manusia yang hanya sekedar melihat-lihat maupun mengikutinya untuk pengambilan data penelitian.

Akan tetapi, satwa ini akan melakukan perlawanan jika ia merasa ada manusia yang dianggap membahayakan. Walau orang tersebut berada di kawanan peneliti.

"Karena dia itu bisa tahu apakah kita mempunyai karakter yang merusak atau tidak, dia tahu. Dari bahasa tubuh kita dia bisa hafal," ungkap Arwin.

Tiga orangutan yang dilihat sebelumnya merupakan orangutan yang sudah habituasi atau sudah ramah dengan lingkungan Stasiun Penelitian Ketambe, termasuk dengan orang-orangnya.

"Yang kita jumpai kemarin itu adalah Kelli. Itu orangutan yang sudah sering beberapa tahun ini kita ikutin dan sudah sering kita ambil data behaviornya. Jadi dia betul-betul sudah kenal sama kita," jelas pria berusia 41 tahun tersebut.

4. Ada berkisar 30-50 individu orangutan yang telah habituasi

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraSatu individu orang utan bermain di ranting pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Diperkirakan jumlah orangutan di Stasiun Penelitian Ketambe, disebutkan Arwin, berkisar 30-50 individu. Jumlah tersebut belum terbilang konkret, sebab hanya orangutan habituasi saja yang kerap terlihat dan baru bisa didata petugas.

Adapun salah satu penyebab tidak lengkapnya data riil mengenai jumlah primata dilindungi tersebut dikarenakan belum ada penelitian terbaru mengenai orangutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser selama dua tahun terakhir dikarenakan pandemik COVID-19.

"Setahu saya orangutan di sini ada sekitar 30-50 individu," ujarnya.

"Tetapi yang jelas kita ada laporan setiap bulan, setiap kita melakukan patroli ke hutan kalau kita menjumpai orangutan itu kita akan catat," jelas Arwin.

5. Tempat bersatunya orangutan liar dan orangutan keturunan rehabilitasi

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraSatu orangutan yang ada di Stasiun Penelitian Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Di stasiun yang memiliki luas 450 hektar ini ternyata tidak hanya didiami oleh orangutan liar. Ada juga keturunan orangutan yang pernah direhabilitasi.

Perbedaan tingkah laku antara orangutan yang pernah direhabilitasi dan orangutan liar, dapat dilihat dari tingkah laku primata tersebut.

Orangutan liar, dijelaskan Arwin, jarang sekali turun ke tanah apabila ingin berpindah pohon. Walau perbuatan itu ada, namun dalam setahun belum tentu tindakan itu dilakukannya.

Sedangkan orangutan yang pernah direhabilitasi malah sebaliknya, ia lebih sering turun ke tanah ketika akan berpindah pohon. Bahkan ia akan mendatangi bangunan yang ada di kawasan stasiun penelitian.

"Itu karena sejak dia dibawa dari asalnya dia ditaruh di kamp. Contohnya, Si Binjai," kata Arwin.

Binjai yang dimaksud kepala stasiun penelitian itu adalah individu orangutan asal Langkat, Sumatra Utara yang direhabilitasi ke Stasiun Penelitian Ketambe pada 1971 silam.

Kala itu, tempat tersebut tidak hanya pusat riset satwa namun juga masih digunakan sebagai tempat rehabilitasi orangutan.

Selama direhabilitasi, ternyata kebiasaan Binjai masih terbawa dan belum terbiasa dengan hutan liar. Satwa berjenis kelamin betina itu kerap memakan pakaian, karton, dan lainnya yang bukan pakan alaminya.

Melihat adanya perbedaan tingkah laku dari orangutan bernama Binjai itu, akhirnya pusat rehabilitasi kemudian dipindahkan ke kawasan Bukit Lawang, Sumatra Utara, sekitar tahun 1974.

Tujuannya agar kebiasaan dari orangutan yang menjalani rehabilitasi tidak mempengaruhi tingkah laku orangutan liar lainnya di Stasiun Penelitian Ketambe.

Sementara Binjai, sudah tidak bisa lagi dilakukan penangkapan dikarenakan telah berbaur ke dalam hutan dengan membawa sifatnya sendiri.

Tingkah laku binjai itu dikatakan Arwin, masih terus dilakukan oleh keturunannya yang ada di Stasiun Penelitian Ketambe hingga kini.

"Begitulah seterusnya. Makanya itu seperti tertular penyakit buruknya lah," ungkap Arwin.

6. Aktivitas dan posisi sarang orangutan

Lebih Dekat dengan Orangutan di Alam Ketambe Aceh TenggaraSalah satu sarang orangutan di dahan pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Selama di Stasiun Penelitian Ketambe, saya berkesempatan untuk melihat dan mengetahui tentang aktivitas orangutan, termasuk mengenai sarangnya.

Ternyata orangutan memiliki kebiasaan, yakni beristirahat di siang hari sebelum akhirnya istirahat di waktu malam.

Waktu istirahat siang biasanya sekitar pukul 10.00 WIB atau setelah mencari makan ketika pagi. Ia akan kembali keluar mencari makan setelah beristirahat selama satu atau dua jam.

Setelah lelah beraktivitas dan merasa telah mencukupi kebutuhan makannya, kebanyakan orangutan akan kembali beristirahat sekitar pukul 15.00 WIB. Itu sekaligus dengan jadwal tidur malam.

Sehubungan dengan kebiasaan beristirahat, orangutan ternyata juga memiliki keunikan perihal sarang. Primata ini ternyata memiliki empat posisi penempatan sarang untuk beristirahat.

Sarang di posisi pertama biasanya dibangun orangutan di pangkal dahan pohon. Posisi kedua, berada di bagian tengah dahan.

Sementara sarang posisi ketiga dibuat di ujung atau pucuk dahan. Terakhir posisi keempat, sarang dibuat di antara dua pohon yang ujung dahannya digabungkan.

Pembuatan sarang dengan posisi keempat dikatakan terbilang jarang dibuat kecuali orangutan masih remaja dan jantan yang akan merebut kekuasaan.

"Tujuannya menyatukan dua pohon agar ketika dia keluar sarang tersebut rusak atau digunakan untuk menghilangkan jejak sehingga dia tidak ketahuan membuat sarang," ungkap Arwin.

Selain memiliki beragam posisi penempatan sarang, orangutan juga punya kebiasaan lainnya, yakni tidak akan membangun maupun menampati sarang yang sama untuk beristirahat.

Primata ini setiap harinya akan selalu berpindah-pindah pohon dan membuat sarang baru sebagai tempat tidurnya, kecuali jika pohon yang dihinggapi memiliki cukup pakan.

"Selama mengikuti orangutan, kita sudah bisa membedakan sarang siang dan sarang malam. Besok dia tidak akan membuat sarang di situ lagi. Dia akan mencari ke tempat yang lain lagi meski terkadang di pohon yang sama," ujar Arwin.

"Orangutan tidak akan pindah sarang apabila di pohon tersebut tersedia pakannya. Misalnya, pohon pikus buahnya banyak, sehingga orangutan bisa sampai beberapa hari membuat sarang di pohon tersebut sampai habis buahnya," imbuhnya.

Selain itu, orangutan dikatakan kepala Stasiun Penelitian Ketambe, mempunyai perbedaan bentuk sarang saat akan beristirahat ketika siang dan malam.

Ketika beristirahat siang, kebanyakan orangutan akan membuat sarang dengan posisi kedua maupun ketiga, seperti dijelaskan sebelumnya.

Posisi sarangnya juga tidak begitu tertutup atau lebih terbuka. Bahkan ada pula yang membuat sarang siang di bagian akar pohon.

Berbeda dengan tempat peristirahatan siang, sarang malam lebih banyak dibuat di posisi pertama walau ada pula orangutan yang membuat di posisi kedua dan ketiga.

"Tetapi kalau untuk tidur malam tidak akan pernah mau di akar, sebab banyak bahaya yang datang kalau dia tidur malam di akar," ujar Arwin.

Baca Juga: Ini Bacaan Doa Qunut saat Salat Subuh dan Manfaatnya

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya