Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Screen Shot 2025-10-02 at 8.13.56 PM.png
Toyota Yaris Ativ (toyota.co.th)

Intinya sih...

  • Loyalitas merek domestik dan jaringan purnajual

  • Peralihan ke elektrifikasi dan ritme produk

  • Faktor non-teknis: geopolitik, harga, dan kebijakan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pasar mobil Korea Selatan memang sangat kompetitif. Di sana, Hyundai dan Kia memimpin kuat, sementara merek impor bersaing ketat memperebutkan ceruk. Merek Jepang hadir, tetapi kinerjanya cenderung fluktuatif. Pada Januari tahun lalu, misalnya, pangsa mobil Jepang sempat menyentuh angka 14,98 persen di Korea Selatan. Namun angka tersebut turun menjadi hanya 11,4 persen pada Januari 2025. 

Meski begitu, ada titik terang di segmen tertentu. Lexus, misalnya, menembus posisi empat besar merek impor pada Januari–Agustus 2025 dengan lebih dari 10.200 unit, didorong penjualan hybrid ES 300h. Ini menunjukkan bahwa proposisi teknologi spesifik masih bisa berhasil, walau gambaran besarnya tetap menunjukkan jarak dengan merek domestik. 

1. Loyalitas merek domestik dan jaringan purnajual

Mobil hybrid Hyundai (pexels.com/Hyundai Motor Group)

Konsumen Korea memiliki preferensi kuat pada merek nasional yang menawarkan ekosistem lengkap: jaringan dealer luas, waktu tunggu suku cadang cepat, dan nilai jual kembali yang terjaga. Keunggulan “kedekatan” ini dibangun bertahun-tahun melalui produksi lokal, sponsor budaya, hingga program pembiayaan yang agresif.

Bagi pabrikan Jepang, menandingi skala dan kedalaman layanan Hyundai–Kia adalah tantangan besar, terutama ketika mereka masuk sebagai impor tanpa basis manufaktur lokal yang sebanding. Posisi Lexus yang baru menembus empat besar impor mengonfirmasi bahwa capaian terbaik merek Jepang masih berada di lorong impor, bukan arus utama domestik. 

2. Peralihan ke elektrifikasi dan ritme produk

Hyundai IONIQ 5 (dok. Hyundai)

Ritme peluncuran EV dan hybrid di Korea sangat cepat. Pasar impor pun didorong model elektrifikasi dan premium yang tumbuh pesat, sementara merek Eropa, Amerika, dan beberapa merek Tiongkok mendorong kecepatan inovasi dan pasokan. Di sisi Jepang, transisi EV penuh berjalan lebih hati-hati sehingga momentum sering jatuh pada kompetitor, kecuali di ceruk hybrid tertentu seperti Lexus.

Data bulanan KAIDA memperlihatkan pangsa merek Jepang di pasar impor yang naik-turun, dari sekitar 15 persen awal 2024 ke 11,4 persen awal 2025, menandakan bahwa performa merek Jepang masih sensitif terhadap jadwal model baru dan preferensi teknologi setempat. 

3. Faktor non-teknis: geopolitik, harga, dan kebijakan

Hyundai IONIQ 5 (dok. Hyundai)

Hubungan Korea–Jepang yang membaik sempat mengangkat penjualan merek Jepang, tetapi efeknya tidak otomatis berujung dominasi pasar. Sensitivitas sejarah tetap ada, sementara harga impor, pajak, dan kurs yen–won ikut mempengaruhi daya saing di showroom.

Di waktu yang sama, kebijakan industri dan investasi besar-besaran grup Hyundai memperkuat rantai pasok, R&D, dan repositioning produk di pasar domestik, menjadikan hambatan masuk kian tinggi bagi pesaing impor. Dengan kata lain, sekalipun sentimen membaik, struktur pasar tetap memihak pemain lokal yang berinvestasi dalam negeri. 

So, apakah penjualan mobil Jepang di Korea “cukup bagus”? Untuk ukuran pasar impor, ada kemajuan di segmen tertentu dan merek seperti Lexus bisa bersinar. Namun bila tolok ukurnya persaingan melawan merek lokal di pasar keseluruhan, jawabannya masih belum. Bisa dibilang, performa merek Jepang di Korea Selatan terlihat, tumbuh di ceruk, tetapi belum menjadi arus utama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team