Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Screen Shot 2025-09-18 at 1.52.17 PM.png
ilustrasi mobil Volvo (unsplash.com/Philippe Oursel)

Intinya sih...

  • Pesanan besar Volvo 144 dari Korea Utara senilai 73 juta dolar AS tidak pernah dibayar, menjadi legenda otomotif dan catatan diplomasi internasional yang unik.

  • Utang awal puluhan juta dolar kini mencapai lebih dari 300 juta euro setelah puluhan tahun menumpuk, Swedia tetap konsisten mengirimkan pengingat dua kali setahun.

  • Utang mobil ini membuka pintu hubungan diplomatik yang tidak terduga, membuat Swedia menjadi negara Barat pertama yang membuka kedutaan di Pyongyang pada 1975.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau biasanya cerita mobil identik dengan kecepatan, teknologi, atau gaya hidup, kisah yang satu ini justru penuh drama diplomasi dan hutang negara. Bayangkan saja, pada tahun 1970-an, Korea Utara memesan 1.000 unit sedan Volvo 144 dari Swedia. Mobil-mobil itu sudah dikirim, digunakan di jalanan Pyongyang, bahkan jadi simbol modernitas kala itu.

Masalahnya, sampai sekarang pembayarannya belum pernah dilakukan. Hasilnya, cerita ini berubah menjadi legenda otomotif sekaligus catatan diplomasi internasional yang tidak biasa.

Bagi banyak orang, mungkin aneh membayangkan sebuah negara memesan ribuan mobil lalu tidak membayarnya sama sekali. Tetapi begitulah kenyataan yang terjadi. Di satu sisi, Volvo berhasil memenuhi pesanan dengan tepat waktu. Namun di sisi lain, pemerintah Swedia harus menanggung kenyataan pahit bahwa transaksi itu tidak menghasilkan pembayaran sepeser pun. Peristiwa ini kemudian menjadi bagian dari hubungan diplomatik unik antara Swedia dan Korea Utara yang bertahan hingga kini.

1. Pesanan besar yang berakhir jadi piutang

ilustrasi mobil Volvo (unsplash.com/Jeton Bajrami)

Semua berawal pada tahun 1974, ketika Volvo menyetujui kontrak besar dengan pemerintah Korea Utara. Nilai kontrak tersebut, seperti dikutip dari VOA News, mencapai sekitar 73 juta dolar AS, jumlah yang sangat besar pada masanya. Volvo mengirimkan sedan 144, model andalan mereka, ke Pyongyang dalam jumlah fantastis: 1.000 unit. Mobil-mobil itu benar-benar diterima, bahkan laporan menyebutkan sebagian masih terlihat beroperasi di jalanan ibu kota Korea Utara hingga sekarang.

Namun setelah mobil diterima, masalah besar muncul. Korea Utara sama sekali tidak membayar tagihan yang diajukan. Swedish Export Credit Agency (EKN), lembaga pemerintah Swedia yang menanggung risiko ekspor, sejak itu rutin mengirimkan tagihan ke Pyongyang. Dua kali setahun, surat resmi dikirim, berharap ada balasan atau pembayaran. Kenyataannya, semua permintaan itu diabaikan begitu saja.

2. Dari puluhan juta jadi ratusan juta euro

ilustrasi mobil Volvo (unsplash.com/Adrian Kusznirewicz)

Kalau kamu pernah menunda bayar tagihan kartu kredit, pasti tahu bahwa bunga bisa membengkak dari waktu ke waktu. Situasi yang sama juga terjadi pada kasus ini. Utang awal Korea Utara yang bernilai puluhan juta dolar kini, setelah puluhan tahun menumpuk, diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta euro menurut Newsweek. Nilai itu membuat kasus “Volvo yang tak dibayar” menjadi salah satu piutang internasional paling aneh dan paling lama bertahan dalam sejarah modern.

Meski begitu, Swedia tetap konsisten mengirimkan pengingat dua kali setahun, seolah menjaga tradisi diplomasi yang sudah berlangsung hampir setengah abad. Kemungkinannya kecil sekali Korea Utara benar-benar akan melunasi utang tersebut, tapi Swedia tetap menagih. Ada yang menyebut ini bukan lagi soal uang, melainkan simbol kedisiplinan diplomasi dan bukti sejarah yang tidak boleh dilupakan.

3. Jadi simbol diplomasi unik

ilustrasi bendera Korea Utara (unsplash.com/Mike Bravo)

Lucunya, utang mobil ini justru membuka pintu hubungan diplomatik yang tidak terduga. Pada 1975, Swedia menjadi negara Barat pertama yang membuka kedutaan di Pyongyang, sebagian karena hubungan dagang yang terjalin lewat transaksi Volvo tad. Hingga kini, kisah “1.000 Volvo tak terbayar” masih sering dibahas media internasional. Bahkan situs otomotif Hagerty menyebutnya sebagai salah satu kisah paling unik dalam sejarah mobil.

Bagi penggemar otomotif, cerita ini bukan hanya tentang sedan klasik Volvo 144, tetapi juga bukti bagaimana mobil bisa menjadi bagian dari sejarah politik dunia. Mobil yang seharusnya sekadar alat transportasi malah berubah menjadi ikon diplomasi dan pengingat bahwa perdagangan internasional selalu punya risiko.

Lebih dari empat puluh tahun berlalu, ribuan Volvo yang dulu dikirim ke Korea Utara masih meninggalkan tanda tanya besar. Apakah utang itu suatu hari akan dibayar? Ataukah ia akan terus menjadi simbol diplomasi yang eksotis antara dua negara dengan latar belakang berbeda? Yang jelas, cerita ini menegaskan bahwa di balik setiap mobil ada kisah yang bisa melampaui sekadar teknologi atau desain, bahkan menyentuh ranah politik dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team