Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mengisi daya mobil PHEV (unsplash.com/JUICE)
ilustrasi mengisi daya mobil PHEV (unsplash.com/JUICE)

Intinya sih...

  • Perbedaan besar antara klaim dan kenyataanLaporan T&E menunjukkan adanya kesenjangan besar antara data resmi dan hasil penggunaan di dunia nyata. Emisi CO2 PHEV mencapai 134 gram per kilometer, jauh lebih tinggi dari angka resmi 38 gram per kilometer.

  • Alasan di balik hasil pengujian yang biasPenyebab utama ketimpangan ini adalah metode penghitungan emisi yang terlalu optimistis dari pihak produsen mobil. Mereka menggunakan faktor utilitas, yaitu perkiraan seberapa sering PHEV digunakan dalam mode listrik.

  • Regulasi baru untuk menutup celahPembuat kebijakan di Eropa mulai menyusun aturan yang lebih ketat untuk menghitung emisi kar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kendaraan plug-in hybrid (PHEV) selama ini dianggap sebagai solusi ideal dalam masa transisi menuju kendaraan listrik penuh. Dengan kombinasi mesin bensin dan motor listrik, PHEV diyakini dapat mengurangi emisi sekaligus menghemat bahan bakar.

Namun, hasil penelitian terbaru dari organisasi Transport & Environment (T&E) menunjukkan fakta yang berlawanan. Menurut studi tersebut, emisi karbon sebenarnya dari PHEV jauh lebih tinggi dibandingkan hasil pengujian resmi yang diklaim produsen.

Hasil penelitian terhadap 80 ribu mobil PHEV di Eropa mengungkapkan bahwa kendaraan jenis ini menghasilkan hampir lima kali lebih banyak CO2 daripada angka yang tercantum dalam data resmi.

Artinya, banyak konsumen yang membeli PHEV dengan harapan mengurangi jejak karbon dan biaya bahan bakar, justru berkontribusi lebih besar terhadap polusi udara dibanding perkiraan sebelumnya. Fakta ini membuat status PHEV sebagai “jembatan hijau” menuju elektrifikasi kendaraan mulai dipertanyakan.

1. Perbedaan besar antara klaim dan kenyataan

ilustrasi Smart Hybrid Vehicle by Suzuki (auto.suzuki.co.id)

Laporan T&E menunjukkan adanya kesenjangan besar antara data resmi dan hasil penggunaan di dunia nyata. Pada tahun 2021, organisasi tersebut mencatat bahwa rata-rata emisi CO2 PHEV mencapai 134 gram per kilometer, atau 3,5 kali lebih tinggi dari angka resmi yang hanya 38 gram per kilometer.

Dalam studi terbaru, selisih itu bahkan semakin lebar. Produsen mobil mengklaim bahwa rata-rata emisi karbon PHEV kini hanya 28 gram per kilometer, padahal hasil pengujian aktual mencapai 139 gram per kilometer. Perbedaan ini menunjukkan bahwa sistem pengujian resmi belum mampu mencerminkan kondisi penggunaan harian secara akurat.

Kondisi tersebut juga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Banyak pembeli yang tergoda dengan janji efisiensi dan ramah lingkungan, namun pada kenyataannya mereka justru mengeluarkan biaya bahan bakar lebih tinggi. Ketika baterai tidak sering diisi ulang atau kendaraan lebih sering digunakan dalam mode bensin, maka emisi karbon meningkat drastis. Hal ini menunjukkan bahwa PHEV hanya ramah lingkungan dalam kondisi ideal—yakni saat digunakan dengan disiplin pada mode listrik.

2. Alasan di balik hasil pengujian yang bias

Ilustrasi pabrik mobil. (unsplash.com/carlos aranda)

Menurut T&E, penyebab utama ketimpangan ini adalah metode penghitungan emisi yang terlalu optimistis dari pihak produsen mobil. Mereka menggunakan apa yang disebut “faktor utilitas”, yaitu perkiraan seberapa sering PHEV digunakan dalam mode listrik. Dalam banyak kasus, faktor ini jauh dari realita.

Misalnya, aturan saat ini mengasumsikan bahwa mobil PHEV dengan jarak tempuh listrik 60 kilometer digunakan lebih dari 80 persen waktu dalam mode listrik. Padahal, survei menunjukkan bahwa pengguna PHEV sering kali hanya mengisi baterai sesekali, bahkan mengandalkan mesin bensin untuk perjalanan harian.

Produsen diduga memanfaatkan metode penghitungan tersebut untuk menghindari denda emisi karbon yang tinggi. Dengan menampilkan angka emisi rendah di atas kertas, mereka dapat memenuhi batas regulasi tanpa benar-benar menghasilkan kendaraan yang jauh lebih bersih.

3. Regulasi baru untuk menutup celah

Ilustrasi pabrik mobil (freepik.com/usertrmk)

Melihat hasil studi ini, pembuat kebijakan di Eropa mulai menyusun aturan yang lebih ketat untuk menghitung emisi karbon secara realistis. Pada periode 2025/2026, “faktor utilitas” akan diturunkan menjadi 54 persen, dan terus berkurang menjadi 34 persen pada 2027/2028. Langkah ini diharapkan bisa mendekatkan angka uji laboratorium dengan kenyataan di lapangan. Meski demikian, T&E memperkirakan kesenjangan emisi antara klaim dan hasil nyata masih akan bertahan sekitar 18 persen meski dengan aturan baru.

Temuan ini menjadi peringatan bahwa kendaraan plug-in hybrid bukanlah solusi jangka panjang untuk krisis iklim. Tanpa perubahan perilaku pengguna dan regulasi yang ketat, PHEV justru berpotensi memperlambat transisi menuju mobil listrik murni yang benar-benar bebas emisi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team