Ilustrasi para pengendara sepeda motor yang sedang berhenti di lampu merah (pexels.com/Markus Winkler)
Jalanan di Jakarta sering kali dipandang sebagai arena kompetisi: siapa cepat, dia selamat. Siapa lambat, dia ditinggal. Pola pikir ini diperkuat oleh lingkungan yang tidak sabar, minimnya ketertiban, serta kurangnya pendidikan emosi sejak dini. Akibatnya, masyarakat tumbuh tanpa keterampilan mengelola emosi, khususnya saat menghadapi konflik atau frustrasi di ruang publik.
Dalam teori psikologi perilaku, agresi bisa dipelajari. Saat seseorang melihat orang lain melakukan kekerasan verbal atau fisik di jalan tanpa ada konsekuensi, ia bisa menganggap itu sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik. Ini yang membuat perilaku agresif menyebar dan dianggap “normal”.
So, meningkatnya agresivitas pengendara di Jakarta bukan cuma soal moral atau etika berkendara, tapi juga hasil dari tekanan hidup, kondisi lingkungan, dan dinamika psikologis masyarakat urban. Jika kita ingin mengurangi kekacauan di jalan, solusinya tidak hanya lewat penindakan hukum, tapi juga lewat pendekatan yang lebih manusiawi: pendidikan emosi, pengelolaan stres, dan membangun budaya saling menghargai di ruang publik.