Jakarta, IDN Times - Rencana pemerintah mengubah skema tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penambahan kategori objek pajak di sektor barang dan jasa menuai polemik. Publik bereaksi keras usai bocornya draf rancangan undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Bagaimana tidak, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dari yang selama ini dipatok 10 persen dalam aturan UU Nomor 42 Tahun 2009, menjadi 12 persen. Tak hanya itu, PPN juga akan dikenakan pada sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya tidak termasuk sebagai objek pajak mulai dari barang jenis sembako, jasa pendidikan, hingga jasa kesehatan.
Meski masih wacana, poin-poin dalam draf RUU KUP tersebut memicu perdebatan panjang dan kritik keras dari masyarakat baik di pusat maupun di berbagai daerah. Pemerintah pun buru-buru memastikan kebijakan itu belum akan diterapkan tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan RUU tersebut masih akan melalui tahap pembahasan. Menurutnya, dokumen revisi RUU KUP belum seharusnya keluar ke publik karena belum rampung.
"Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui Surat Presiden. Dan oleh karena itu ini situasinya menjadi agak kikuk, ternyata kemudian dokumennya keluar, karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga," papar Sri Mulyani.
Ekonom Sumatra Selatan Yan Sulistyo menyebut draf itu masih mungkin berubah bahkan batal. "Ini kan baru wacana dari Kemenkeu, tapi sepertinya akan gagal. Keputusan ini bisa saja ditarik atau dibatalkan, itu informasi yang saya terima masih rencana dan dari stafsus Kemenkeu mungkin ini akan terjadi perubahan," ungkap ekonom jebolan Universitas Sriwijaya tersebut kepada IDN Times.
Apa saja kritik dan saran yang menjadi catatan para ekonom di berbagai daerah se-Indonesia?