Ilustrasi obligasi (IDN Times/Aditya Pratama)
Kesalahan berikutnya dari SVB di mata Jahja adalah lantaran terlalu percaya kepada obligasi terpercaya, dalam hal ini US Treasury. Tak salah juga, karena dari segi risiko kredit, US Treasury memiliki risiko nol alias zero risk.
"Karena ini bicara Amerika. Kecuali, Amerika bangkrut. Dari segi credit risk no doubt, tetapi yang mereka lupa adalah begini, terima pembiayaan besar dari wholesale. Wholesale itu kalau taruh duit gak pernah mau bunga kecil, gak mungkin. Pasti, minta bunga tinggi," ujarnya.
Hal itu kemudian membuat SVB meletakkan simpanan dari wholesale tersebut ke dalam treasury bills jangka panjang atau sekuritas pemerintah berumur pendek yang tidak menghasilkan bunga, tetapi diterbitkan dengan potongan harga pada penebusannya.
Celakanya, sambung Jahja, saat itu suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed terus mengalami kenaikan dan itu kemudian berdampak pada treasury bills SVB.
"Bond ini rumusannya kalau interest naik, harga bond turun. Kalau interest turun, harga bond naik. Yang terjadi adalah interest naik, kelelep, underwater dari segi nilai bond itu sendiri karena mismanage dari segi likuiditas. Seharusnya kalau mereka terima wholesale dan jangka pendek, harusnya mereka menempatkan treasury bills betul, gak salah, tetapi jangan jangka pendek juga," papar Jahja.