Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Dwi Agustiar)
Terakhir adalah tertekannya ICP hingga level yang terendah pada April 2020 menjadi US$21 per barel. Hal ini berdampak pada kinerja keuangan Pertamina yang mempertahankan produksi lifting migas meski mergin hulu tertekan.
Pelemahan ICP ini berdampak pada inventory cost Pertamina di mana mereka menumpuk stok bahan bakar seperti avtur dan solar.
"Semua terdampak dan itu jadi inventory cost sementara revenue tidak ada. Kita tidak enjoy terhadap penurunan harga ICP," ucapnya.
Emma menambahkan, Pertamina makin sulit karena di kilang mereka masih mengonsumsi harga crude yang masih mahal sebesar US$57 dolar per barel karena ada lagging ke 2-3 bulan ke belakang.
"Ini secara pembukuan kita masih harga pokok masih mahal tapi harga jual sudah agak rendah. Karena harga jual mengikuti harga ICP yang terkini. Ada selisih dari lagging waktu," kata Emma memaparkan.