Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi risiko investasi (freepik.com)
Ilustrasi risiko investasi (freepik.com)

Intinya sih...

  • Risiko likuiditas: Investor harus memperhatikan kemudahan menjual aset investasi tanpa kehilangan nilai signifikan.

  • Risiko inflasi: Inflasi bisa menggerus daya beli uang secara perlahan, terutama jika imbal hasil tidak menyesuaikan dengan tingkat inflasi tahunan.

  • Risiko overconfidence: Risiko psikologis terjadi saat investor merasa terlalu yakin dengan kemampuannya menganalisis pasar dan mengambil keputusan gegabah.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Orang yang baru memulai investasi, biasanya berekspektasi keuntungan yang besar. Hal itu tidaklah salah, tetapi investasi itu bukan hanya soal keuntungan saja, tapi juga ada potensi kerugian. Inilah yang kemudian disebut dengan risiko investasi.

Risiko investasi dapat diartikan sebagai potensi kerugian yang mungkin dialami investor akibat berbagai faktor yang mempengaruhi nilai investasi. Kerugian itu bisa mencakup hilangnya modal maupun imbal hasil yang tidak sesuai harapan.

Pada prinsipnya, risiko investasi gak bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi dapat dikelola melalui pemahaman yang baik, diversifikasi, dan strategi investasi tepat.

Seorang investor yang sudah lama berkecimpung di dunia investasi tentu sudah hafal dengan risiko-risiko itu. Tak heran mereka akan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk profil risiko dan strategi investasi saat akan membeli suatu aset investasi.

Namun, bagi investor baru, risiko investasi adalah barang baru buat mereka. Apalagi jika mereka investasi hanya karena ikut-ikutan tren, tanpa mempertimbangkan berbagai hal yang relevan.

Jika kamu termasuk investor baru itu, berikut beberapa risiko investasi yang perlu kamu pahami seperti dikutip dari Ruang Menyala OCBC.

1. Risiko likuiditas

ilustrasi likuiditas (pexels.com/Kaboompics.com)

Risiko ini terjadi ketika kamu tidak bisa menjual aset investasi dengan cepat tanpa kehilangan nilai yang signifikan. Banyak investor hanya fokus pada imbal hasil, tapi lupa memperhitungkan apakah aset tersebut mudah diuangkan saat dibutuhkan.

Misalnya, properti atau saham dengan volume transaksi rendah bisa sulit dijual saat pasar sedang lesu. Hal tersebut bisa bikin kamu terjebak di aset yang tidak bisa digunakan untuk kebutuhan mendesak.

2. Risiko inflasi

Ilustrasi inflasi (Foto: IDN Times)

Inflasi sebagai risiko sering diabaikan karena efeknya tidak terasa secara langsung. Namun, tanpa disadari, inflasi justru bisa menggerus daya beli uang secara perlahan.

Jika kamu berinvestasi di instrumen dengan imbal hasil rendah, tanpa menyesuaikan dengan tingkat inflasi tahunan, nilai riil uangmu akan turun. Artinya, kamu tetap kehilangan uang secara tidak langsung, meskipun jumlah nominalnya terlihat aman.

3. Risiko overconfidence

ilustrasi investasi (pexels.com/Liza Summer)

Ini merupakan risiko psikologis yang terjadi saat investor merasa terlalu yakin dengan kemampuannya menganalisis pasar, sehingga mengambil keputusan gegabah tanpa cukup riset.

Contohnya, membeli saham hanya karena tren atau rekomendasi viral tanpa paham fundamental perusahaan. Akibatnya, keputusan investasi jadi emosional dan berisiko tinggi.

4. Risiko regulasi dan kebijakan pemerintah

Ilustrasi pajak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Perubahan regulasi dan kebijakan oleh pemerintah bisa memengaruhi nilai dan kinerja investasi, terutama dalam sektor yang sangat terikat aturan seperti energi, perbankan, atau keuangan digital.

Contohnya, kebijakan pajak baru, larangan ekspor-impor, atau regulasi yang berubah bisa secara tiba-tiba menurunkan nilai aset atau membatasi akses terhadap instrumen investasi tertentu.

5. Risiko konsentrasi

ilustrasi investor (IDN Times/Aditya Pratama)

Risiko ini muncul ketika kamu menaruh semua dana di satu jenis aset atau sektor saja. Misalnya, seluruh portofolio kamu hanya terdiri dari saham teknologi atau properti. Ketika sektor tersebut anjlok, portofolio juga akan buruk.

Oleh karena itu, kamu sebagai investor dianjurkan untuk diversifikasi investasi. Tujuannya agar uang tersebar ke berbagai instrumen investasi, sehingga ketika satu anjlok, yang lain masih aman.

Editorial Team