Jakarta, IDN Times - Wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap sembako ditolak oleh publik. Wacana itu tertuang dalam draf revisi Undang Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam rapat kerja (Raker) Komisi XI DPR RI kemarin, Kamis (10/6/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan draf tersebut belum masuk dalam tahap pembahasan dengan DPR.
Ia menyatakan, pemerintah saat ini masih fokus dalam pemulihan ekonomi dari dampak pandemik COVID-19. Di sisi lain, pemerintah harus tetap menjaga penerimaan pajak dalam keadaan sehat.
"Kita semuanya juga, masyarakat mengatakan APBN perlu disehatkan kembali. Tapi menyehatkan dengan tetap menjaga momentum pemulihan itu harus dipilih, dijaga, dan dikelola dengan hati-hati. Maka situasi inilah yang sekarang sedang kita fokuskan pemulihan ekonomi. Namun kita semua harus tetap membangun fondasi bagi ekonomi dan perpajakan untuk tetap sehat ke depan," ujar Sri Mulyani.
Namun, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, pengenaan PPN ini bisa berdampak negatif pada perekonomian masyarakat, dan berujung pada kenaikan tingkat kemiskinan.
"Sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah," terang Bhima kepada IDN Times.
Padahal di sisi lain, masih banyak cara untuk menyehatkan penerimaan pajak ketimbang mengenakan PPN terhadap sembako. Menurut Bhima ada 6 cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Apa saja itu?