Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi black friday
ilustrasi black friday (pexels.com/Max Fischer)

Intinya sih...

  • Awal mula "Black Friday" dari krisis emas tahun 1869 yang mengguncang ekonomi Amerika Serikat.

  • Mimpi buruk polisi Philadelphia tahun 1950-an karena kerumunan massa dan kriminalitas setelah Thanksgiving.

  • Strategi "In the Black" di tahun 1980-an mengubah makna menjadi kesuksesan finansial bagi peritel besar.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setiap tahun menjelang akhir November, kamu pasti sering melihat berbagai toko dan marketplace berlomba-lomba memasang spanduk diskon besar-besaran. Namun, di tengah hiruk-pikuk belanja tersebut, pernahkah terlintas di benakmu mengapa disebut black friday padahal hari itu dianggap hari yang menyenangkan bagi para pemburu diskon?

Ternyata, sejarah di balik nama tersebut cukup rumit dan gak melulu soal keuntungan penjualan yang besar, melainkan memiliki sisi gelap yang cukup mengejutkan di masa lalu, lho.

Istilah ini sebenarnya telah mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan selama beberapa dekade terakhir sebelum akhirnya menjadi sinonim dengan pesta belanja global. Banyak orang salah mengira bahwa nama ini sejak awal diciptakan oleh perusahaan ritel jenius untuk menarik pelanggan.

Padahal kenyataannya justru sebaliknya karena istilah ini sempat dibenci oleh para pedagang. Kok, bisa? Simak penjelasan berikut!


1. Awal mula krisis emas tahun 1869

ilustrasi emas batangan (pexels.com/Pixabay)

Jauh sebelum istilah ini diasosiasikan dengan antrean panjang di depan toko elektronik, "Black Friday" pertama kali digunakan untuk menggambarkan sebuah krisis finansial yang sangat parah. Pada tanggal 24 September 1869, pasar emas di Amerika Serikat mengalami kejatuhan drastis yang mengguncang ekonomi negara tersebut hingga ke akar-akarnya. Peristiwa mengerikan ini dipicu oleh dua investor Wall Street yang sangat terkenal namun licik, yaitu Jay Gould dan Jim Fisk, yang mencoba memonopoli pasar emas nasional demi keuntungan pribadi mereka sendiri.

Kedua investor ini bekerja sama untuk memborong emas sebanyak mungkin dengan harapan bisa mendongkrak harga setinggi langit sebelum menjualnya kembali untuk mengeruk laba. 

Sayangnya, konspirasi jahat ini akhirnya terbongkar tepat pada hari Jumat itu, menyebabkan pasar saham jatuh bebas dan membuat banyak orang kehilangan harta benda mereka. Oleh karena itu, istilah tersebut awalnya digunakan untuk mengenang hari kelam di mana kekayaan banyak orang, mulai dari baron Wall Street hingga petani biasa, lenyap seketika akibat keserakahan segelintir orang.


2. Mimpi buruk polisi Philadelphia tahun 1950-an

ilustrasi kemacetan di jalan (pixabay.com/meineresterampe)

Teori kedua yang paling kuat dan sering dikutip mengenai asal-usul istilah belanja ini berasal dari pihak kepolisian di kota Philadelphia pada tahun 1950-an. Pada masa itu, polisi menggunakan istilah "Black Friday" untuk menggambarkan kekacauan lalu lintas yang luar biasa parah yang terjadi sehari setelah perayaan Thanksgiving. Keramaian yang gak terkendali ini terjadi karena serbuan turis dan pembeli yang datang membanjiri kota untuk menonton pertandingan football Angkatan Darat vs Angkatan Laut yang diadakan setiap tahun pada hari Sabtu.

Bagi para petugas polisi di Philadelphia, hari itu menjadi mimpi buruk karena mereka gak diizinkan untuk mengambil cuti dan harus bekerja ekstra keras mengatur kemacetan serta kerumunan massa yang membludak. 

Situasi pun semakin parah karena para pengutil toko yang memanfaatkan kekacauan dan kesibukan petugas untuk mencuri barang dagangan di toko-toko yang padat pengunjung. Karena konotasi negatif yang melekat pada hari yang melelahkan, macet, dan penuh kriminalitas ini, polisi setempat akhirnya menjulukinya sebagai "Black Friday" dengan nada sebal.


3. Sempat ingin diubah menjadi "Big Friday"

ilustrasi Thanksgiving (pexels.com/RDNE Stock project)

Melihat konotasi negatif yang begitu melekat pada istilah tersebut, para pedagang dan pebisnis di Philadelphia pada awal tahun 1960-an merasa gak nyaman. Mereka jadi khawatir pemakaian kata "Black" (hitam) yang identik dengan kelam, kesedihan, atau malapetaka akan membuat pembeli ‘takut’ datang berbelanja ke toko mereka. 

Nah, sebagai upaya penyelamatan citra, para pedagang berkumpul dan mencoba rebranding dengan mengubah nama hari tersebut menjadi "Big Friday" agar terdengar lebih positif dan mengundang semangat belanja.

Sayangnya, upaya penggantian nama tersebut gagal total karena istilah sebelumnya sudah terlanjur melekat kuat di ingatan masyarakat dan aparat keamanan setempat. Media lokal pun sudah terbiasa memakai istilah lama untuk melaporkan kondisi kemacetan lalu lintas pasca-Thanksgiving, sehingga nama baru "Big Friday" gak pernah benar-benar populer. Akhirnya, mereka pun menyerah dan pasrah dengan istilah yang bernada gelap ini.

4. Strategi "In the Black" yang mengubah citra

ilustrasi black friday (pexels.com/Max Fischer)

Gak kehabisan akal, para peritel besar di tahun 1980-an mulai berusaha keras memutarbalikkan makna "Black Friday" menjadi sesuatu yang berkaitan dengan kesuksesan finansial. Mereka menyadari bahwa jika gak bisa mengganti namanya, mereka harus mengganti filosofinya dengan memberikan narasi baru yang berkaitan dengan akuntansi perusahaan. 

Dalam pembukuan keuangan zaman dahulu, kerugian biasanya dicatat secara manual menggunakan tinta merah (in the red), sedangkan keuntungan dicatat menggunakan tinta berwarna hitam (in the black). Para pedagang kemudian menyebarkan kisah baru bahwa hari Jumat setelah Thanksgiving adalah momen krusial di mana toko-toko akhirnya mulai mencetak keuntungan (masuk ke zona hitam) setelah merugi (zona merah) hampir sepanjang tahun. 

Narasi cerdas ini berhasil diterima oleh masyarakat luas dan perlahan-lahan menggeser ingatan orang tentang krisis emas maupun keluhan polisi di Philadelphia yang negatif. Strategi ini terbukti sangat sukses, sehingga kini hari tersebut lebih dikenal sebagai hari di mana neraca keuangan toko berubah menjadi positif berkat lonjakan pembeli yang luar biasa. Keren, ya, idenya!


5. Evolusi menjadi fenomena global hingga saat ini

ilustrasi black friday (pexels.com/Max Fischer)

Seiring berjalannya waktu, tradisi belanja ini gak lagi hanya menjadi milik Amerika Serikat, tetapi telah menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia termasuk Inggris, Kanada, hingga Indonesia, lho. Perkembangan teknologi internet juga turut mengubah pola perilaku konsumen, memunculkan istilah pendamping seperti Cyber Monday bagi mereka yang lebih suka berbelanja secara online. Kini, momen ini gak hanya berlangsung satu hari, melainkan sering kali diperpanjang menjadi satu minggu penuh atau dikenal dengan sebutan Black Friday Week demi memaksimalkan penjualan.

Namun ironisnya, seiring dengan semakin populernya hari ini, sisi "gelap" dari istilah tersebut terkadang muncul kembali dalam bentuk yang berbeda. Berita negatif tentang kekacauan “Black Friday”  kerap terdengar di pusat perbelanjaan, di mana pengunjung saling dorong bahkan berkelahi demi memperebutkan televisi atau konsol game murah.

Fenomena ini seolah menjadi pengingat bahwa meskipun maknanya sudah dipoles menjadi positif, intensitas dan fanatisme belanja di hari tersebut tetap bisa menciptakan kekacauan yang mirip dengan sejarah asalnya.

Kini kamu sudah memahami bahwa sejarah hari belanja terbesar di dunia ini gak sesederhana yang dibayangkan, kan. Adanya intrik ekonomi dan strategi pemasaran membuat kisah black friday semakin menarik. Jadi, jika nanti ada temanmu yang bertanya mengapa disebut black friday, kamu bisa menjelaskan sejarah panjang yang unik ini kepada mereka sembari menikmati hasil belanjaanmu. Makin terlihat keren, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team