ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)
Sementara itu, Pendiri dan Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tidak cukup untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan nilai tambah yang besar.
“Semua negara yang masuk ke negara maju mereka mempunyai lompatan ekonomi. Ada lompatan pendapatan per kapita. Sementara Indonesia sangat minimal dalam pertumbuhan ekonomi,” kata dia.
Hendri menambahkan, pemerintah mendatang dapat melakukan tiga pendekatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas supaya bisa keluar dari jebakan negara menengah (middle income trap).
"Pertama, implementasi pendekatan ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila itu adalah ekonomi kerakyatan. Ini pesan dari founding fathers untuk melakukan kegiatan ekonomi secara bersama-sama. Artinya, harus ada demokrasi ekonomi," kata Hendri.
Pemerintah, sambung Hendri bisa melibatkan semua pihak dan memberikan akses untuk terlibat dalam memajukan industri. Dengan demikian, tidak ada lagi orang menganggur dan tidak bisa mendapatkan pendapatan karena tidak bisa bekerja.
"Sebenarnya semua orang itu bisa bekerja, tapi pemerintah baru perlu membuat kebijakan ekonomi agar orang bisa melakukan sesuatu," ujar dia.
Kedua, merevitalisasi industri yang bisa jadi kunci agar ekonomi Indonesia bisa melompat tinggi. Revitalisasi industri ini bisa dilakukan dengan membangun industri dasar dan menggerakan semua sektor di semua daerah. Menurut dia, industri manufaktur bisa menjadi jangkar untuk membangun membangun backward dan forward linkage dengan industri-industri pendukung.
Ketiga, Hendri mengusulkan pemerintah perlu melakukan strategi dan kebijakan industri yang lebih canggih (sophisticated) dan inovatif di tengah perubahan global. Bagi dia, pemerintah seharusnya bukan hanya membuat keamanan untuk konsumen melainkan juga bagi pasar.
Hendri mencontohkan perjanjian perdagangan bebas dan kerja sama ekonomi global. Menurutnya, perjanjian perdagangan bebas dan kerja sama ekonomi global seharusnya dilakukan lebih terukur dengan berdasarkan pengembangan industri nasional baik hulu-hilir dan besar-kecil.
“Kita membutuhkan kebijakan secara komprehensif dan inklusi,” ujarnya.