Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi beras (pexels.com/Suki Lee)
ilustrasi beras (pexels.com/Suki Lee)

Intinya sih...

  • Jepang mengimpor beras dari Korea Selatan untuk pertama kalinya sejak 1999 karena lonjakan harga beras lokal yang melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
  • Pemerintah Jepang melepas 210 ribu ton beras dari cadangan nasional pada Maret lalu, namun hanya sebagian kecil beras yang benar-benar sampai ke toko.
  • Harga beras melonjak karena kombinasi faktor seperti suhu panas ekstrem, peringatan gempa dan topan, serta penurunan hasil panen tahun lalu.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Jepang mengimpor beras dari Korea Selatan untuk pertama kalinya sejak 1999, di tengah lonjakan harga yang memicu kemarahan konsumen. Harga beras lokal melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, meski pemerintah telah melepas cadangan nasional. Dua ton beras Korsel telah dijual online dan di supermarket, dengan rencana tambahan 20 ton akan segera dikirim, menurut NHK.

Meski sebelumnya diragukan dari segi rasa dan kualitas, beras asing kini mulai diterima oleh konsumen Jepang. Situasi krisis ini mengingatkan pada tahun 1993, ketika impor beras Thailand gagal menarik pembeli. Yonhap menyebut ekspor beras Korea ke Jepang tahun ini bisa jadi yang tertinggi sejak 1990.

“Saya tidak memiliki keraguan tentang makan nasi impor. Harga telah naik, jadi saya selalu mencari opsi yang lebih murah,” kata Miki Nihei, dikutip dari The Guardian, Kamis (24/4/2025).

1. Pemerintah Jepang gagal salurkan cadangan beras secara efektif

ilustrasi stok beras Jepang (unsplash.com/Anna Mircea)

Sebagai respons atas lonjakan harga, pemerintah Jepang melepas 210 ribu ton beras dari cadangan nasional pada Maret lalu. Namun, upaya itu nyaris tak berdampak karena hanya sebagian kecil beras yang benar-benar sampai ke toko. Hingga akhir Maret, baru 426 ton atau 0,3 persen dari total beras yang dilepas berhasil masuk ke pasar ritel, menurut Kementerian Pertanian.

Masalah utama terletak pada kurangnya kendaraan pengangkut dan lamanya proses persiapan penjualan. Ini menjadi pertama kalinya Jepang mengeluarkan cadangan beras karena hambatan distribusi, bukan gagal panen atau bencana. Sebelumnya, cadangan hanya dibuka saat krisis seperti gempa Tohoku 2011 dan Kumamoto 2016.

Sebelum krisis ini, Jepang telah bergantung pada cadangan nasional akibat penurunan hasil panen tahun lalu. Lonjakan konsumsi, terutama karena rekor kedatangan turis, juga mempercepat penyusutan stok.

2. Lonjakan harga dipicu gelombang panas dan belanja panik

ilustrasi nasi (pexels.com/Huy Phan)

Harga beras melonjak karena kombinasi faktor yang saling menumpuk sepanjang tahun. Suhu panas ekstrem selama musim panas 2023 merusak kualitas panen secara luas. Di sisi lain, peringatan gempa dan topan mendorong masyarakat memborong beras, membuat sebagian toko membatasi penjualan.

Dalam sepekan hingga 6 April, harga beras di supermarket mencapai rata-rata 4.214 yen atau sekitar Rp496 ribu untuk 5 kilogram. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini memaksa restoran hingga rumah tangga beralih ke opsi yang lebih murah, seperti beras Amerika atau Korea.

Arata Hirano, pemilik restoran di Tokyo, mengatakan ia mulai menggunakan beras California sejak tahun lalu. Harga beras itu kini naik dua kali lipat dari pembelian awalnya, tapi tetap lebih murah dibandingkan beras lokal.

3. Krisis ubah pandangan budaya terhadap beras asing

ilustrasi stok beras Jepang (unsplash.com/Neil Daftary)

Melansir Business Standard, di Jepang, beras lebih dari sekadar makanan pokok—ia hadir dalam bahasa, ibadah, dan kehidupan sehari-hari. Kata gohan berarti “nasi matang” maupun “makanan”, dan digunakan dalam istilah seperti asagohan (sarapan) atau bangohan (makan malam). Beras juga digunakan dalam pembuatan sake, kue, dan persembahan di kuil Shinto maupun Buddha.

Karena nilai budayanya, Jepang melindungi industri berasnya dengan ketat selama puluhan tahun melalui larangan impor. Namun, kesepakatan dagang global pada 1990-an memaksa Jepang membuka sebagian pasarnya lewat sistem kuota tarif. Impor di atas batas itu dikenakan tarif sangat tinggi, membuat masyarakat tetap enggan membeli beras asing.

Kini, tekanan harga mendorong pergeseran persepsi. Yomiuri Shimbun melaporkan bahwa Jepang mungkin mempertimbangkan impor beras dan kedelai dari Amerika Serikat dalam pembicaraan dagang dengan Presiden Donald Trump.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team