Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-02 at 15.55.27 (1).jpeg
Konferensi Pers Bersama sebagai Tindak Lanjut Penanggulangan KLB Program Prioritas Makan Bergizi Gratis. (IDN Times/Triyan).

Intinya sih...

  • Perbedaan spesifikasi dalam kontrak dan realisasi di lapangan.

  • Dapur MBG menerima sayuran dalam kondisi tidak sehat.

  • Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menanggapi temuan Ombudsman terkait adanya permasalahan dalam pengadaan bahan baku program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ombudsman menemukan dugaan pemalsuan kualitas beras premium di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG di Bogor, Jawa Barat.

Dadan menyatakan kasus tersebut merupakan hasil temuan dari bidang pengawasan, dan pihaknya akan menindaklanjuti temuan tersebut.

"Itu salah satu bagian dari pengawasan. Jadi, kalau ada yang seperti itu, pasti akan ditindaklanjuti melalui proses pemeriksaan," ujar Dadan di Gedung Kementerian Kesehatan, Kamis (2/10/2025).

1. Ada perbedaan spesifikasi dalam kontrak dan realisasi di lapangan

Ilustrasi beras di gudang bulog (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya terkait pengadaan bahan baku di sejumlah dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Salah satu temuan mencolok terjadi di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menjelaskan pada tahap persiapan bahan, Ombudsman mencatat adanya perbedaan antara spesifikasi dalam kontrak dengan realisasi di lapangan.

“Di Bogor, misalnya, SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen, meskipun dalam kontrak tercantum bahwa beras yang disediakan adalah beras premium,” jelasnya.

2. Dapur MBG menerima sayuran dalam kondisi tidak sehat

Data sebaran SPPG yang dibentuk oleh BGN di seluruh Indonesia untuk mendistribusikan MBG. (Tangkapan layar YouTube Komisi IX DPR RI)

Selain masalah beras, Ombudsman juga menemukan dapur MBG yang menerima sayuran dalam kondisi tidak segar, serta lauk-pauk yang tidak lengkap. Temuan-temuan ini diduga terjadi karena belum adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas dalam proses pengadaan dan distribusi bahan makanan.

"Sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal," tegasnya.

3. Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained

Sebaran data korban keracunan MBG versi Badan Gizi Nasional. (Tangkapan layar YouTube Komisi IX DPR RI)

Temuan lainnya berkaitan dengan belum konsistennya penerapan standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) di sejumlah dapur produksi. Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained sebagai bagian dari sistem pengendalian mutu. Padahal, kedua hal ini merupakan komponen krusial untuk memastikan keamanan makanan sebelum dikonsumsi.

Selain itu, keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang seharusnya melakukan 13 item pengawasan juga dinilai belum optimal. Penguatan peran BPOM menjadi penting untuk memastikan bahwa prosedur operasional standar (SOP) pengolahan makanan dijalankan secara disiplin.

"Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar (SOP) pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin. Distribusi makanan sebagai ujung dari rantai layanan masih menghadapi tantangan," ucap Yeka.

Editorial Team