Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Screenshot_20251030_100054_YouTube.jpg
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam acara FEKDI. (Dok/Istimewa)

Intinya sih...

  • Volume transaksi ekonomi digital RI diperkirakan mencapai 147 miliar pada 2030.

  • Nilai transaksi digital Indonesia diproyeksi tembus Rp2 ribu triliun, mencerminkan pesatnya perkembangan ekosistem digital di Tanah Air.

  • Faktor pendorong lonjakan transaksi digital di Tanah Air adalah keberhasilan implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) dan perlu pererat sinergi antara regulator dan pelaku usaha.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memproyeksikan volume transaksi ekonomi dan keuangan digital di Indonesia akan meningkat empat kali lipat dalam lima tahun mendatang. Dengan demikian, diperkirakan akan ada 147 miliar transaksi pada 2030.

“Kami perkirakan ekonomi dan keuangan digital (EKD) yang saat ini volumenya sekitar 37 miliar transaksi akan naik empat kali lipat menjadi 147,3 miliar transaksi. Mana tepuk tangannya?” ujar Perry dalam acara Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025 yang digelar di JCC, Jakarta, Kamis (30/10/2025).

1. Nilai transaksi digital diproyeksi tembus Rp2 ribu triliun

Faktor pendorong ekonomi digital / tribunnews.com

Sementara itu, nilai transaksi digital Indonesia diproyeksi akan mengalami lonjakan signifikan, dari sekitar Rp500 triliun menjadi lebih dari Rp2.000 triliun. Angka ini mencerminkan pesatnya perkembangan ekosistem digital di Tanah Air, mencakup berbagai sektor, mulai dari e-commerce hingga pembayaran digital berbasis QRIS dan BI-Fast.

“Nilainya tinggal dikalikan empat kali lipat. Yang tadi Rp520 triliun, kalikan empat kali,” ujar Perry.

Perry menilai pencapaian ekonomi digital menjadi bukti Indonesia telah berhasil menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di dunia.

This is the future of Indonesia. Visioning 2030. Alhamdulillah, sekarang Indonesia sudah menjadi negara dengan ekonomi digital dan sistem pembayaran yang berkembang paling cepat di dunia,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

2. Faktor pendorong lonjakan transaksi digital di Tanah Air

Ilustrasi data e-commerce (Pexels.com/Pixabay)

Menurut Perry, lonjakan transaksi digital di Indonesia didorong oleh keberhasilan implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) yang telah diluncurkan sejak 2019. Melalui inisiatif ini, Bank Indonesia berhasil membangun infrastruktur pembayaran yang terintegrasi, efisien, dan inklusif, yang memberikan akses lebih luas bagi masyarakat dan pelaku ekonomi, termasuk UMKM.

QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pun menjadi simbol kedaulatan sistem pembayaran nasional sekaligus penggerak utama digitalisasi di sektor UMKM. Saat ini, sekitar 60 juta pengguna QRIS tercatat, dan 40 juta di antaranya adalah pelaku usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan betapa pentingnya QRIS dalam memperluas inklusi keuangan di seluruh sektor perekonomian.

“Kita ingat, pada 17 Agustus 2019, kita berhasil menyatukan satu bahasa QR Indonesia. Alhamdulillah, QR Indonesia Standard juga berperan besar dalam membantu Indonesia menghadapi pandemi COVID-19, mulai dari mendistribusikan bantuan sosial hingga memfasilitasi berbagai transaksi lainnya,” tambah Perry.

3. Perlu pererat sinergi antara regulator dan pelaku usaha

E-commerce. (pixabay/tiga23)

Mengenai visi 2030, Perry menekankan untuk mencapainya, diperlukan sinergi yang kuat antara regulator, industri, dan pelaku usaha. Kerja sama lintas sektor ini sangat penting untuk memastikan transformasi digital berjalan secara inklusif dan berkelanjutan, menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan sektor ekonomi.

Namun, meskipun optimistis dengan kemajuan yang ada, Perry menyebut perkembangan digital juga membawa tantangan baru, seperti risiko serangan siber, penipuan daring, dan transaksi ilegal. Oleh karena itu, perlindungan konsumen harus menjadi prioritas yang sejalan dengan inovasi teknologi.

“Kita juga harus menyadari digitalisasi membawa risiko. Semakin berkembang teknologi digital, semakin besar pula potensi serangan siber dan phishing. Karena itu, pelindungan konsumen harus tetap menjadi prioritas utama,” ucap Perry.

Editorial Team