Aksi protes oleh perusahaan-perusahaan dunia tidak hanya dilakukan dengan memutuskan bisnis ataupun menarik investasi, tapi juga melayangkan kecaman secara terbuka.
Anggota Action, Collaboration, Transformation (ACT) yang mencakup merek ritel global yang bersumber dari Burma dan serikat pekerja global misalnya. Lembaga ini telah mengutuk kudeta tersebut dan menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai.
Pada 26 Februari, Bursa Efek Singapura (SGX) mengarahkan Emerging Towns and Cities Singapore Co. Ltd. untuk membuktikan bahwa proyek Golden City di Burma tidak berkontribusi pada kejahatan, agar tetap bisa diperdagangkan di bursa.
Sebelumnya pada 2 Februari, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga menyatakan keprihatinannya secara terbuka.
“(Kami) sangat prihatin tentang situasi saat ini di Myanmar, yang dapat menyebabkan kemunduran serius bagi transisi dan prospek pembangunan negara,” kata lembaga itu.
Pada 25 Februari, Bank Dunia mengumumkan mereka telah menahan pencairan dana untuk semua proyek yang sedang berjalan, dan tidak akan memproses permohonan penarikan yang diterima pada atau setelah 1 Februari.
Pernyataan ini dikeluarkan setelah lembaga ini menerima surat dari lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil di dalam dan di luar Burma pada 17 Februari.
Surat itu menyerukan kepada Lembaga keuangan internasional (IFI) untuk segera membekukan pinjaman dan bantuan keuangan lainnya ke negara tersebut, yang berjumlah sekitar 11 miliar dolar AS.
Surat itu juga meminta agar IFI menarik kembali pinjaman yang terkait dengan perusahaan milik junta dan militer, dan meninjau kembali keterlibatannya untuk memastikan mereka tidak menguntungkan junta yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta 1 Februari.