Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi minuman kaleng (unsplash.com/charlie_wollborg)
Ilustrasi minuman kaleng (unsplash.com/charlie_wollborg)

Intinya sih...

  • Popok dan tisu basah menimbulkan pencemaran lingkungan

  • Impelementasi cukai untuk barang yang merusak lingkungan lebih kompleks

  • Fokus implementasikan cukai berpemanis

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai langkah pemerintah yang akan memperluas obyek kena cukai di luar rokok dan minuman beralkohol bertujuan untuk mengendalikan barang-barang yang memiliki eksternalitas negatif yang bisa berdampak pada lingkungan maupun kesehatan. Alhasil, konsumsinya pun harus dikendalikan.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, rencana perluasan ini mencakup sejumlah komoditas yakni objek cukai, antara lain barang mewah (luxury goods); minuman berpemanis dalam kemasan; produk plastik meliputi kantong plastik, kemasan plastik multilayer, styrofoam dan sedotan plastik; kemudian produk pangan olahan bernatrium dalam kemasan, sepeda motor, batu bara, dan pasir laut.

"Ketika ada barang yang mempunyai eksternalitas negatif ya harus dikendalikan konsumsinya. Salah satu contohnya rokok yang harus kita kendalikan konsumsinya karena menyebabkan gangguan kesehatan," ujarnya kepada IDN Times, Selasa (11/11/2025).

1. Popok dan tisu basah menimbulkan pencemaran lingkungan

Ilustrasi popok bayi. (Pixabay.com/ReadyEleements

Menurut Huda, diapers dan tisu basah diketahui menimbulkan eksternalitas negatif berupa pencemaran lingkungan. Sampah dari kedua produk ini sulit terurai, sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan barang-barang tersebut berpotensi dikenai cukai.

"Diapers dan tisu basah, memang mendatangkan eksternalitas negatif berupa pencemaran lingkungan. Sampah dari diapers dan tisu basah sulit terurai. Maka hal tersebut dijadikan alasan kenapa bisa dikenakan cukai," ungkapnya.

2. Impelementasi cukai untuk barang yang merusak lingkungan lebih kompleks

Ilustrasi popok bayi (pexels.com/RODNAE Productions)

Menurut Huda, implementasi cukai untuk barang yang merusak lingkungan dinilai lebih kompleks dibandingkan barang yang berdampak langsung pada kesehatan.

"Pengenaan cukai untuk barang-barang yang sifatnya merusak lingkungan akan lebih sulit ketimbang mengganggu kesehatan. Karena dampak ke kesehatan bisa langsung terasa dan lebih bersifat personal. Tapi ketika kita berbicara cukai untuk kelestarian lingkungan, akan lebih sulit," tuturnya.

Huda menambahkan, implementasi cukai akan lebih cepat jika terkait dengan kesehatan individu, seperti pada minuman berpemanis dalam kemasan. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah memfokuskan terlebih dahulu penerapan cukai pada minuman berpemanis.

"Ketika sudah dilaksanakan dengan optimal, baru memperluas barang kena cukai. Selain itu, ketika dilakukan satu per satu, maka beban kepada masyarakat akan lebih terarah," ungkapnya.

3. Fokus implementasikan cukai berpemanis

Ilustrasi minuman kaleng (unsplash.com/charlie_wollborg)

Oleh karena itu, ketimbang mengkaji banyak produk yang akan dikenai cukai, ia berharap pemerintah lebih fokus mengimplementasikan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan menaikkan cukai rokok untuk menurunkan konsumsinya, daripada memperluas barang kena cukai tapi mengabaikan barang yang sudah terkena kebijakan.

"Ketika sudah dilaksanakan secara optimal, baru bisa memperluas cakupan barang kena cukai. Selain itu, jika dilakukan satu per satu, beban kepada masyarakat akan lebih terarah," ucap Huda.

4. Kriteria barang kena cukai

Minuman kaleng yang tersedia di supermarket (pixabay.com/ Igor Ovsyannykov)

Barang Kena Cuka adalah barang-barang tertentu yang dikenai pungutan cukai, karena memiliki sifat atau karakteristik khusus. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, barang kena cukai memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Konsumsinya perlu dikendalikan;

  • Peredarannya perlu diawasi;

  • Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau

  • Pemakaiannya perlu dibebani pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan

Editorial Team