ilustrasi kripto (pexels.com/DS stories)
Pada awalnya, aset kripto di Indonesia diatur dalam PMK 68/2022 dan dianggap sebagai komoditas digital yang tidak berwujud. Artinya, aset kripto dipandang seperti barang dagangan (komoditas) yang bisa diperjualbelikan, walaupun bentuknya tidak nyata (digital).
Dalam aturan ini, aset kripto dibuat, diverifikasi, dan diamankan menggunakan teknologi seperti kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi (blockchain). Semua itu dilakukan tanpa campur tangan pihak ketiga, seperti bank atau lembaga pemerintah. Saat itu, pengawasan aset kripto dilakukan oleh Bappebti, yaitu lembaga di bawah Kementerian Perdagangan yang biasanya mengatur perdagangan berjangka, seperti emas atau minyak.
Namun, seiring berkembangnya penggunaan dan peran aset kripto dalam sistem keuangan, pemerintah mengubah pendekatannya. Dalam Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024, aset kripto kini tidak lagi dipandang sebagai komoditas, tetapi sebagai bagian dari aset keuangan digital.
Menurut definisi baru dalam POJK tersebut, aset kripto adalah representasi digital dari suatu nilai yang bisa disimpan, ditransaksikan, dan dipindahkan secara elektronik. Teknologi blockchain tetap digunakan untuk menjamin keamanan dan validitas data, namun kini aset kripto dianggap lebih dekat dengan instrumen keuangan, bukan lagi sekadar komoditas. Aset kripto juga diakui bisa berbentuk koin digital, token, atau jenis lainnya, baik yang memiliki aset pendukung (seperti stablecoin yang didukung oleh dolar) maupun yang tidak memiliki dukungan aset (seperti Bitcoin).
Dengan perubahan ini, pengawasan aset kripto beralih ke OJK, karena aset kripto dianggap memiliki dampak langsung terhadap stabilitas dan perkembangan sektor keuangan digital di Indonesia.