Kepala BPS Suhariyanto memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)
Didik mengatakan, pemerintah selalu menggunakan data BPS yang menunjukkan adanya penurunan kemiskinan. Namun hal itu juga celah kritik.
Didik mengatakan, pertama, angka gini ratio pada saat ini masih jauh lebih tinggi dari masa Orde Baru sehingga penurunan tersebut bukan suatu prestasi khusus.
Kedua, angka BPS hanya bisa dipakai dalam wilayah terbatas semisal ruang akademik, tetap tidak bisa mengukur masalah kesenjangan nyata di lapangan.
"Alasan data BPS tidak bisa dipakai secara kritis untuk melihat kesenjangan di lapangan karena alat ukur kesenjangan tersebut bukan untuk mengukur kekayaan, tetapi mengukur pengeluaran, yang kemudian dianggap sebagai pendapatan dan dianggap bisa atau dipersepsikan bisa diklaim sebagai indikasi kekayaan," kata Didik.
Ia menilai, pendekatan seperti ini secara akdemis dimaklumi, tetapi kenyataan ekonomi politik tidak bisa. "Karena yang super rich tidak bisa diukur oleh alat ukur BPS tersebut," ucapnya.