Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/ Helmi Shemi
IDN Times/ Helmi Shemi

Jakarta, IDN Times - Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia berpotensi terus meningkat. Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, salah satu faktor yang mendukung hal ini adalah pandemik COVID-19. Pandemik seakan mempercepat proses transformasi ekonomi digital karena berubahnya kebiasaan masyarakat dalam bertransaksi dan berbelanja.

"Namun, pertumbuhan tersebut harus dibarengi dengan perlindungan kerahasiaan data pribadi," kata Pingkan dalam diskusi virtual, Selasa (23/3/2021).

1. Indonesia belum memiliki kerangka kerja hukum yang konsisten

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Hingga saat ini, kata Pingkan, Indonesia belum memiliki kerangka kerja hukum yang konsisten untuk kerahasiaan data. Penelitian CIPS di tahun 2020 menunjukkan, peraturan dan kewajiban yang ada saat ini tersebar di setidaknya 32 UU dan regulasi yang berbeda-beda. 

"Kesenjangan di antara regulasi-regulasi tentu memengaruhi proses penegakan hukumnya. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016 dan UU Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013 misalnya, memiliki klasifikasi data umum dan data sensitif yang kontradiktif," ujarnya.

2. Ekonomi digital harus menerapkan perlindungan data pribadi

ilustrasi belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Pingkan melanjutkan, Undang-Undang Dasar (UUD) RI melindungi hak warga negaranya akan perlindungan data pribadi atau privasi dalam Pasal 28 G (1). Akan tetapi, jaminan dalam konstitusi tersebut masih harus diregulasi lebih baik dalam UU lebih lanjut.

“Agar menarik bagi investor, ekonomi digital Indonesia idealnya sudah menerapkan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi yang memadai dan mengakomodasi kepentingan semua stakeholders. Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam regulasi terkait perlindungan data pribadi harus memperhatikan berbagai dinamika yang terjadi dalam ekonomi digital saat ini, setidaknya yang terjadi di Indonesia,” jelas Pingkan.

3. RUU PDP perlu penyesuaian terkait pengawasan dan sanksi

Ilustrasi belanja online (IDN Times/Arief Rahmat)

Pingkan menambahkan, sanksi RUU PDP masuk dalam kategori administratif dan pidana. Sanksi administratif diawali dengan teguran tertulis, diikuti dengan penangguhan sementara, kompensasi kesalahan penanganan data pribadi, dan denda administratif. Aturan pidana dalam RUU PDP membuat pelaku pelanggaran kerahasiaan data dapat dituntut karena tindak kriminal. Pemberlakuan sanksi RUU PDP dilakukan setelah diputuskan bahwa seseorang atau sebuah lembaga telah melanggar kerahasiaan data pribadi.

"Akan tetapi, perlu dilakukan penyesuaian dalam RUU PDP untuk menjelaskan tingkat pengawasan dan beratnya sanksi yang tergantung pada volume data yang dilanggar dan kerugian yang disebabkan oleh pihak yang tidak patuh," kata dia.

Ekonomi digital Indonesia memiliki nilai terbesar di ASEAN, yaitu sebesar 100 miliar dolar AS dan menyumbang 41 persen dari total nilai transaksi di kawasan tersebut (Davis et al., 2019). Pada tahun 2019, persentase nilai transaksi tersebut lebih tinggi dari ukuran relatif perekonomian Indonesia secara keseluruhan di ASEAN, yaitu 35 persen. Sementara itu, Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital Indonesia tumbuh dengan laju tahunan lebih dari 40 persen sejak 2015. Hal ini diperkirakan akan terus tumbuh mencapai 130 miliar dolar AS pada tahun 2025.

"Ini menjadikan Indonesia sebagai pasar digital paling menjanjikan di antara tetangga geografisnya," imbuh dia.

Editorial Team