Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri dalam Political Economic Outlook 2024. (Dok/Screenshot YouTube)
Ia menjelaskan, Sri Mulyani dan menteri lainnya tengah menunggu waktu yang tepat untuk mundur dari kabinet.
"Katanya nunggu momentum, mudah-mudahan momentum ini segera insyaallah jadi pemicu yang dahsyat, seperti waktu Pak Ginandjar (Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita) dan 12 menteri lainnya mundur di zaman Pak Harto (Presiden Soeharto), karena ini secara moral fondasi sudah rontok," jelasnya.
Isu mundur ini muncul, karena dugaan adanya keberpihakan Jokowi pada pasangan calon nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.
Tak hanya itu, Faisal Basri pun juga menyoroti masalah tumpukan utang yang terjadi selama era pemerintahan Presiden Jokowi, karena sudah tembus sekitar Rp8 kuadriliun atau Rp8.000 triliun.
"Bikin Ibu Kota Nusantara (IKN), kereta, duitnya enggak ada. Jadi dengan cara apa? Utang, sekarang sudah Rp8 kuadriliun," tegasnya.
Faisal memproyeksi utang tahun ini akan tambah besar, mengingat pemerintah masih terus mendorong peningkatan belanja alutsista seperti pesawat bekas dan sebagainya.
Ia memperkirakan apabila kebijakan dilanjutkan oleh (capres) Prabowo, utang RI bisa bengkak menjadi dua kali lipat alias Rp16 ribu triliun. Utang-utang tersebut akan ditanggung oleh generasi muda.
Sebagai informasi, hingga akhir tahun 2023 posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.144,69 triliun atau tumbuh 5,31 persen dibandingkan periode tahun 2022. Kemudian rasio utang berada di level 38,59 persen terhadap PDB. Meski begitu, rasio utang tersebut masih di bawah batas aman 60 persen terhadap PDB sesuai dengan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.