Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi grafis (pexels.com/Lukas)
ilustrasi grafis (pexels.com/Lukas)

Jakarta, IDN Times - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan dunia berada di tengah-tengah "pemulihan ekonomi yang rapuh" akibat dampak pandemi COVID-19 dan konflik antara Rusia dan Ukraina. Hal itu disampaikan dalam "Economic Outlook, Interim Report" yang dirilis pada Jumat (17//2023).

OECD memperkirakan ekonomi global tumbuh sebesar 2,6 persen tahun ini, dan kemudian meningkat menjadi 2,9 persen pada 2024. Pertumbuhan itu dipengaruhi dampak abadi dari krisis Ukraina, seperti masalah pasokan energi dan inflasi tinggi.

"Penurunan harga energi telah berkontribusi pada peningkatan moderat dalam prospek global," kata OECD dalam laporan itu.

1. Ekonomi China akan tumbuh paling cepat di dunia

Ilustrasi bendera China (unsplash.com/zhang kaiyv)

Laporan tersebut memperkirakan ekonomi China akan tumbuh paling cepat di dunia tahun ini, meningkat sebesar 5,3 persen, sedangkan ekonomi AS tumbuh sebesar 1,5 persen tahun ini dan 0,9 persen pada 2024.

Dalam rekomendasinya, OECD meminta negara-negara untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ditujukan untuk menurunkan inflasi. Negara-negara juga diminta menargetkan dukungan fiskal ke sektor-sektor yang terkena dampak paling parah.

"Serta mengambil langkah-langkah untuk memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih besar," lanjutnya.

2. BI perkirakan pertumbuhan ekonomi global 2,6 persen

Ilustrasi keterpurukan ekonomi global. (Pixabay.com/geralt)

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 dapat mencapai 2,6 persen sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi China dan penurunan disrupsi suplai global.

"Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2023 yang dipantau dalam jaringan di Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Perry menuturkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya dan diikuti oleh risiko resesi yang menurun. Perbaikan prospek ekonomi global tersebut diperkirakan menaikkan harga komoditas nonenergi di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai global.

Proses penurunan inflasi global berjalan lebih lambat, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa. Hal itu sebabkan perkembangan positif ekonomi global dan ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di AS dan Eropa.

Hal itu mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023.

3. Pengetatan moneter dan tutupnya 3 bank global harus diwaspadai

Ilustrasi Bank Indonesia (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

BI juga menyoroti pengetatan kebijakan moneter khususnya di negara maju, ditambah munculnya kasus penutupan tiga bank di Amerika Serikat, yang meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global. Hal itu kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara.

Tiga bank yang ditutup tersebut adalah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank.

BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah guna memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global tersebut termasuk dampak rambatan penutupan bank di Amerika Serikat terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah.

Editorial Team