Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)
Indonesia memperkuat kebijakan pasar karbon melalui Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 yang menempatkan perdagangan karbon sebagai instrumen utama pertumbuhan hijau dan ekonomi rendah karbon. Unit karbon dari reboisasi, restorasi mangrove, dan agroforestri dapat diperdagangkan di dalam negeri maupun internasional.
Pemerintah juga menyempurnakan berbagai regulasi teknis, mulai dari perdagangan karbon kehutanan, zonasi hutan, kehutanan sosial, hingga pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi. Reformasi ditujukan memperkuat nilai ekonomi hutan dan mendukung pertumbuhan inklusif.
Kebijakan tersebut sejalan dengan komitmen merehabilitasi 10 juta hektare lahan terdegradasi dalam agenda FOLU Net Sink 2030, termasuk pengembangan bioenergi kelapa sawit hingga 24 juta kiloliter untuk menekan impor bahan bakar.
Program perhutanan sosial tetap menjadi prioritas. Hingga kini, akses kelola diberikan pada lebih dari 8,4 juta hektare dan menciptakan jutaan lapangan kerja hijau. Pengakuan hutan adat juga diperkuat melalui satuan tugas yang telah memfasilitasi penetapan lebih dari 70 ribu hektare dan menargetkan 1,4 juta hektare pada 2029.
Indonesia juga menyampaikan sedang menyiapkan diri menjadi pusat pengembangan pasar karbon berkelanjutan secara global.
"Baru-baru ini, Indonesia menandatangani MoU dengan Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional (IETA) dan Dewan Integritas Pasar Karbon Sukarela (ICVCM). Kemitraan ini berfokus pada pembangunan kapasitas, kolaborasi teknis, dan keterlibatan sektor swasta, elemen-elemen penting untuk pasar karbon yang kredibel dan terhubung secara global," ujarnya.