Berkolaborasi dengan The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), Business 20 (B20) Integrity and Compliance Task Force sukses menyelenggarakan konferensi pada 28 September (Dok. KADIN B20),
Untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme, Indonesia membentuk PPATK pada tahun 2002. PPATK merupakan unit intelijen keuangan independen negara yang didirikan untuk memerangi kejahatan keuangan.
Unit ini juga memiliki peran penting dalam proses Indonesia menjadi anggota penuh FATF. Misi yang dilakukan oleh PPATK sejalan dengan arahan Presiden Republik Indonesia pada peringatan dua dekade Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT) di Indonesia.
Tuti Wahyuningsih, Direktur Stategi dan Kerjasama Internasional Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), yang turut hadir dalam konferensi mengatakan percaya bahwa memberikan rekomendasi yang mampu membangun langkah-langkah tepat dalam menanggulangi serta memerangi pencucian uang dan kejahatan ekonomi merupakan bagian dari gugus tugas B20 yang memiliki kepentingan strategis dalam meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan guna memerangi risiko pencucian uang/pendanaan terorisme.
“Dengan mengikuti rekomendasi tersebut, akan sangat berarti bagi Indonesia untuk dapat menjadi anggota tetap dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), terutama dalam mendorong kerjasama antara lembaga pemerintah dan pelapor dalam Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT),” tutur Tuti.
Tuti Wahyuningsih juga menambahkan bahwa PPATK terus berupaya menjalankan peranannya sebagai bagian dari sistem APU/PPT di Indonesia secara maksimal, dengan adanya pengembangan berbagai langkah strategis dari PPATK dalam mendorong pengembangan upaya memerangi pencucian uang dan kejahatan ekonomi.
Pertama, PPATK telah meluncurkan Penilaian Risiko Nasional Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme/Pendanaan Proliferasi pada tahun 2021. Penilaian Risiko Nasional ini merupakan upaya untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal dalam ruang lingkup risiko domestik dan mancanegara.
Kedua, PPATK telah melaksanakan aksi kolektif terkait integritas keuangan dengan menginisiasi pembentukan Kerjasama Pemerintah-Swasta atau dikenal sebagai Public-Private Partnership (PPP). Tujuan dari pembentukan PPP pada APU/PPT di Indonesia adalah untuk membangun wadah diskusi antara pemerintah dan pihak swasta untuk dapat lebih efektif dan efisien dalam menangani pencucian uang dan pemulihan aset.
Hal yang tak kalah pentingnya, PPATK telah mendorong langkah-langkah yang lebih kuat dalam memerangi risiko pencucian uang/pendanaan terorisme dengan menggunakan sistem teknologi informasi terkini, antara lain GoAML, SIPENDAR, SIPESAT, dan SEJATI.
Sementara itu, Haryanto T Budiman, Chair of the B20 Integrity and Compliance Task Force, mengatakan bahwa pada tanggal 18 Agustus 2022 pihaknya menyelenggarakan dialog B20/G20 untuk memperkenalkan secara resmi tentang rekomendasi kebijakan ini kepada perwakilan dan publik G20.
“Hal yang pertama adalah tentang promosi tata kelola yang berkelanjutan dalam bisnis untuk mendukung inisiatif ESG. Rekomendasi kebijakan kedua adalah mendorong tindakan kolektif untuk mengurangi risiko integritas. Dan rekomendasi kebijakan ketiga adalah tentang dukungan terhadap gerakan pencegahan untuk memerangi risiko pencucian uang/pendanaan teroris. Dan inilah topik utama pada diskusi hari ini. Sedangkan rekomendasi kebijakan keempat adalah penguatan tata kelola untuk memitigasi risiko kejahatan dunia maya yang semakin meluas,” tutur Haryanto.
“Karena itu, ada kebutuhan nyata bagi kami untuk menyesuaikan dan meningkatkan kerangka kerja integritas kami berdasarkan lanskap risiko pencucian uang yang berubah yang disebabkan oleh digitalisasi dan cara kerja baru bersamaan dengan peningkatan tata kelola dan kerja kolaboratif untuk mempromosikan efektivitas langkah-langkah penanggulangan baru. B20 Integrity and Compliance Task Force menyadari tantangan ini dan menempatkan masalah khusus ini di bawah tindakan kebijakan pertama dari rekomendasi kebijakan ketiga. Kita perlu fokus pada identifikasi faktor risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan meningkatkan kemampuan dan efisiensi identifikasi risiko ini. Kita perlu melakukan ini secara efektif dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko yang relevan dan spesifik untuk setiap industri dan konteks kelembagaan. Oleh karena itu, penilaian risiko pendanaan terorisme pencucian uang nasional, sektoral dan institusional perlu dimutakhirkan dengan mempertimbangkan perubahan aspek sosial ekonomi, teknologi, dan perilaku,” tambahnya.