Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kemiskinan (pexels.com/jimmychan)
ilustrasi kemiskinan (pexels.com/jimmychan)

Intinya sih...

  • BPS belum adopsi garis kemiskinan terbaru dari Bank Dunia.

  • Penghitungan kemiskinan ekstrem pakai spatial deflator.

  • Garis kemiskinan ekstrem per Maret capai 2,38 juta Orang.

Jakarta, IDN Times – Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan alasan belum mengadopsi garis kemiskinan terbaru yang ditetapkan oleh Bank Dunia dalam menghitung kemiskinan ekstrem. Hingga Maret 2025, BPS masih menggunakan purchasing power parity (PPP) tahun 2017 sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari.

Sementara itu, Bank Dunia telah memperbarui standar tersebut dan kini menggunakan PPP tahun 2021 sebesar 3,00 dolar AS per kapita per hari.

PPP merupakan metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara, sehingga memungkinkan perbandingan yang lebih adil dalam mengukur kesejahteraan masyarakat lintas negara. Adapun kurs PPP tahun 2017 adalah Rp5.089, sedangkan kurs PPP tahun 2021 meningkat menjadi Rp5.353.

Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, penggunaan standar lama ini dilakukan karena pemerintah masih merujuk pada parameter yang digunakan dalam dokumen perencanaan jangka menengah nasional.

“RPJMN 2025–2029 masih mengacu pada PPP sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari. Sementara itu, revisi standar dari Bank Dunia baru dirilis pada Juni lalu. Oleh karena itu, agar proses evaluasi dan pemantauan target pembangunan tetap konsisten, kami belum mengadopsi standar baru tersebut,” ujar Ateng dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

1. BPS hitung kemiskinan ekstrem pakai spatial deflator

Warga Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Purwanto menerima bantuan renovasi rumah dari PT Djarum dan Polytron yang berupaya melakukan Pengentasan Kemiskinan Ekstrem (PKE) di Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Kudus melalui program Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH). (dok. Djarum)

Ateng juga menegaskan perubahan standar PPP tidak dapat diimplementasikan secara serta-merta, mengingat adanya keterkaitan dengan kebijakan nasional dan sistem perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, adaptasi terhadap standar baru tetap akan dipertimbangkan di masa mendatang, namun perlu melalui kajian yang menyeluruh dan terkoordinasi lintas sektor.

Meski demikian, Ateng menyebutkan lembaganya telah mulai mengadopsi metode penghitungan kemiskinan ekstrem yang sejalan dengan standar Bank Dunia, yaitu dengan menggunakan spatial deflator. Sebelumnya, penghitungan kemiskinan ekstrem di Indonesia masih mengandalkan Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) sebagai acuan utama.

“Nah, karena Bank Dunia mendorong penggunaan spatial deflator, kami pun telah menyesuaikan. Tim kami sudah melakukan penghitungan ulang tingkat kemiskinan ekstrem dengan pendekatan tersebut,” ujar Ateng.

Spatial deflator sendiri merupakan alat statistik yang digunakan untuk memperhitungkan perbedaan tingkat harga antarwilayah dalam suatu negara. Di Indonesia, disparitas harga antara satu daerah dan daerah lainnya—baik antarprovinsi maupun antar kabupaten/kota—dapat sangat signifikan.

Spatial deflator itu mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di Indonesia, bahkan sampai ke tingkat kabupaten dan kota. Karena itu, kami mengadopsinya dalam penghitungan kemiskinan ekstrem. Ini juga merupakan pertama kalinya BPS merilis data kemiskinan ekstrem dengan pendekatan ini,” jelasnya.

2. Garis kemiskinan ekstrem per Maret capai 2,38 juta orang

ilustrasi kemiskinan (pexels.com/jimmychan)

Pada Maret 2025, persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari (mengacu pada PPP 2017), tercatat sebesar 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta orang.

Persentase tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan September 2024 yang mencapai 0,99 persen atau 2,78 juta orang, serta Maret 2024 yang tercatat sebesar 1,26 persen atau 3,56 juta orang.

Kemiskinan Maret 2024 yang sebelumnya dirilis sebesar 0,83 persen masih menggunakan perhitungan garis kemiskinan lama Bank Dunia sebesar 1,90 dolar AS per kapita per hari berdasarkan PPP 2011.

Setelah disesuaikan dengan standar yang lebih baru, yakni PPP 2017, tingkat kemiskinan ekstrem pada Maret 2024 direvisi menjadi 1,26 Persen. Dengan demikian, data terbaru per Maret 2025 menunjukkan adanya tren penurunan kemiskinan ekstrem jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

3. Penduduk miskin per Maret turun menjadi 23,85 juta

Ilustrasi kemiskinan (commons.wikimedia/Jonathan McIntosh)

Lebih rinci, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 turun menjadi 23,85 juta orang, atau setara dengan 8,47 persen dari total populasi. Angka tersebut menunjukkan penurunan sebesar 0,2 juta orang dan 0,1 persen poin dibandingkan dengan kondisi pada September 2024.

Ia menjelaskan tren penurunan angka kemiskinan ini telah berlangsung konsisten sejak Maret 2023, setelah sebelumnya sempat mengalami kenaikan pada periode September 2022 hingga Maret 2023 sebesar 0,03 persen poin. Meski demikian, tingkat ketimpangan antara wilayah kota dan desa masih cukup besar.

Pada Maret 2025, tingkat kemiskinan di perdesaan tercatat sebesar 11,03 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan 6,73 persen di wilayah perkotaan. Selain itu, kedua wilayah menunjukkan arah tren yang berbeda kemiskinan di desa mengalami penurunan, sedangkan di kota justru mencatat sedikit peningkatan.

“Persentase kemiskinan di perdesaan mengalami penurunan sebesar 0,31 persen poin dibandingkan September 2024, sementara di perkotaan justru meningkat 0,07 persen poin,” jelas Ateng.

BPS juga mencatat garis kemiskinan nasional mengalami kenaikan. Pada Maret 2025, garis kemiskinan mencapai Rp609.160 per kapita per bulan, meningkat sebesar 2,34 persen dibandingkan periode sebelumnya. Di wilayah perkotaan, garis kemiskinan tercatat lebih tinggi yakni Rp629.561, sementara di perdesaan sebesar Rp580.349.

Ateng menuturkan garis kemiskinan di perdesaan naik sebesar 2,42 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan kenaikan di perkotaan yang mencapai 2,24 persen. Menurutnya, kenaikan garis kemiskinan ini mencerminkan tekanan inflasi, terutama pada kelompok pengeluaran makanan, yang masih menjadi komponen utama dalam konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah.

Editorial Team