Jakarta, IDN Times - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan, emas hingga tiga tahun ke depan masih menarik untuk dikoleksi. Apalagi tren ketidakpastian global yang masih terus membayangi perekonomian memicu rendahnya suku bunga.
"Kalau tren ini berlanjut dalam jangka waktu yang lama deposito, rupiah, surat utang akan kurang menarik, orang akan melirik emas," katanya di Jakarta, Senin (11/11).
Berdasarkan data yang ia punya, produksi emas pada tahun 2010 sebesar 2.400 ton dan tahun 2018 meningkat sebesar 3.500 ton. Namun sejatinya peningkatan produksi emas tidak naik secara signifikan sejak tahun 2016. Hal ini menurutnya bisa membuat harga emas tergerek naik.
"Kalau kita bicara supply dan demand, supply-nya relatif cukup stabil demand terus naik, artinya akan mendorong harga relatif lebih tinggi," ucapnya.
Ia juga mengungkapkan, pascakrisis tahun 2008, bank sentral konsisten mengoleksi emas. Ini menjadi cermin bahwa emas merupakan pilihan yang aman dan menarik.
"Artinya bank sentral menganggap bahwa emas sebagai pilihan yang relatif aman, bukan hanya investor individual tapi juga investor instansi. Mereka mix emas dan valasnya, emasnya ditingkatkan," tuturnya.
Di saat bersamaan, CEO PT Sampoerna Gold Indonesia John Aryananda mengatakan, berdasarkan hasil riset yang pernah ia temukan, 50 persen warga Indonesia memilih berinvestasi di emas karena faktor ekonomis dan psikologis.
"Dari segi ekonomis, emas itu tahan inflasi, dan juga tahan dari gejolak ekonomi,emas itu jadi instrumen investasi yang diburu sehingga dapat meningkatkan nilai jual emas tersebut," jelasnya.