Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi nikel (freepix.com/VecMes)
ilustrasi nikel (freepix.com/VecMes)

Intinya sih...

  • Impor bijih nikel dari Filipina meningkat

  • Cadangan besar Indonesia tidak mencukupi pasokan

  • Ledakan smelter berpotensi menimbulkan risiko

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyoroti impor nikel yang dilakukan Indonesia dari Filipina. Hal tersebut dinilai sebagai sebuah ironi mengingat Indonesia menjadi pusat industri nikel dan baterai listrik dunia, dan menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di bumi.

Di sisi lain, Filipina merupakan negara dengan cadangan nikel jauh lebih kecil dari Indonesia. Ketua Umum FINI, Arif Perdana Kusumah, menilai fenomena tersebut bukan hanya ironis, tetapi juga menjadi sinyal penting bahwa laju pembangunan hilirisasi perlu diimbangi dengan penguatan kapasitas pasokan di hulu agar rantai industri nikel nasional tetap berjalan secara berkelanjutan.

“Perubahan masa berlaku RKAB dari tiga tahunan menjadi satu tahunan membawa tantangan besar. Dengan ratusan smelter yang terus bertambah, kebutuhan kuota tambang melonjak, sementara waktu perencanaan tambang menjadi lebih pendek. Akibatnya, potensi ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri semakin terasa. Di sinilah ironi mulai tampak jelas,” tutur Arif dalam keterangan resminya, Jumat (21/11/2025).

1. Impor bijih nikel

Ilustrasi impor (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada 2024, Indonesia mengimpor kurang lebih 10,4 juta ton bijih nikel dari Filipina. Kemudian pada 2025 angka tersebut diperkirakan naik menjadi kurang lebih 15 juta ton (setara sekitar 600 juta dolar AS).

Padahal, cadangan Filipina hanya 4,8 juta ton logam nikel atau sekitar 4 persen cadangan global, jauh di bawah Indonesia. Menurut Arif, impor tersebut terjadi karena dua alasan, yakni keterbatasan pasokan dalam negeri dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses produksi smelter.

“Sebuah ironi besar negara superpower nikel dunia bergantung kepada negara dengan cadangan jauh lebih kecil,” kata Arif.

2. Cadangan besar dan pasokan yang tidak mencukupi

ilustrasi nikel (Unsplash/Paul-Alain Hunt)

Indonesia memiliki cadangan 55 juta ton logam nikel atau sekitar 45 persen cadangan dunia. Secara teori, kata Arif, Indonesia seharusnya menjadi negara paling aman dalam hal ketersediaan bijih.

Namun, dalam praktiknya, pertumbuhan smelter yang begitu masif membuat kapasitas produksi tambang tidak mampu mengejar kebutuhan.

“Smelter dengan teknologi pirometalurgi dan hidrometalurgi membutuhkan pasokan kontinu. Ketika produksi tambang tidak sejalan dengan ekspansi smelter, industri mulai merasakan tekanan bahan baku,” ujar Arif.

3. Ledakan smelter yang timbulkan risiko

Ilustrasi smelter nikel. (Pixabay/Ferdinand Kozeluh)

Sementara itu, pertumbuhan kapasitas smelter sangatlah besar. Pada 2017, produksi smelter 250 ribu ton nikel kelas dua, sedangkan pada 2024, kapasitas melonjak menjadi kurang lebih 1,8 juta ton nikel kelas dua dan sekitar 395 ribu ton nikel kelas satu.

Dalam kurang dari sepuluh tahun, Indonesia menjelma menjadi pemain strategis dunia dalam industri baja tahan karat dan material baterai.

“Pangsa pasar nikel dari Indonesia mencapai lebih dari 60 persen kebutuhan dunia. Namun, pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa diimbangi penguatan hulu menimbulkan ancaman: smelter besar, investasi besar, tetapi bahan bakunya tidak cukup,” ujar Arif.

Jika pasokan bijih nikel terus terbatas, maka dampaknya bisa merembet ke seluruh ekosistem seperti ketidakpastian investasi akibat kebijakan yang berubah, biaya produksi meningkat karena harga bijih meroket, risiko smelter terpaksa menghentikan operasi, terhambatnya investasi lanjutan seperti industri baterai dan kendaraan listrik, serta dampak berantai ke lembaga pembiayaan dan sektor pendukung.

4. Hilirisasi menyeluruh

ilustrasi kendaraan listrik dengan baterai nikel mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui hilirisasi nikel (pixabay.com/Joenomias)

Menurut Arif, Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam hilirisasi, tetapi strategi besar membutuhkan fondasi kuat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan eksplorasi diperkuat, kapasitas dan kepatuhan teknis penambangan ditingkatkan, dan RKAB bagi tambang yang terintegrasi/terafiliasi dengan smelter perlu mendapat prioritas pengesahan sesuai kebutuhan smelter.

“Tanpa perencanaan hulu yang solid, ironi impor bijih nikel akan terus menghantui ambisi besar Indonesia. Hilirisasi adalah peluang sejarah, dan peluang itu hanya bisa dimenangkan bila Indonesia mampu memastikan satu hal, bahan baku untuk industrinya sendiri tidak boleh langka di negeri yang kaya nikel,” tutur Arif.

Editorial Team