ilustrasi perusahaan multinasional (pexels.com/Vlada Karpovich)
Sebuah entitas, baik bisnis maupun individu, dapat dikatakan solvent (mampu membayar) jika seluruh utang dapat dilunasi. Penilaian tercepat atas kemampuan ini adalah dengan menghitung ekuitas pemegang saham, yang menjadi nilai akhir yang tersisa apabila perusahaan harus segera dilikuidasi untuk membayar semua utangnya.
Namun, banyak perusahaan tercatat memiliki ekuitas pemegang saham yang negatif, yang merupakan tanda ketidakmampuan bayar (insolvency). Nilai ekuitas negatif ini menunjukkan perusahaan tidak memiliki nilai buku. Bagi pemilik usaha kecil, kondisi ini bahkan bisa berujung pada kerugian pribadi jika perusahaan harus ditutup tanpa perlindungan tanggung jawab terbatas.
Posisi ekuitas pemegang saham negatif umumnya ditemui pada perusahaan swasta yang baru berkembang, startup, atau perusahaan publik yang baru melantai di bursa. Seiring bertambahnya usia dan kematangan, posisi solvabilitas perusahaan biasanya akan membaik.
Meski demikian, sejumlah kejadian dapat meningkatkan risiko solvabilitas, bahkan pada perusahaan yang kuat. Contohnya, masa berlaku paten yang akan habis memungkinkan kompetitor memproduksi produk serupa, sehingga perusahaan kehilangan pendapatan dari royalti.
Selain itu, perubahan regulasi yang berdampak langsung pada operasional, atau putusan hukum besar yang mewajibkan pembayaran ganti rugi, juga dapat memicu masalah solvabilitas.
Dalam praktiknya, solvabilitas dan likuiditas (kemampuan bayar kewajiban jangka pendek) sering dianalisis bersamaan, khususnya saat perusahaan berada dalam kondisi tidak solvent. Meskipun berbeda, perusahaan dimungkinkan tidak solvent tetapi masih memiliki arus kas reguler dan modal kerja yang stabil.