Ilustrasi pajak (dok: Pinterest)
Yustinus pun menyebut di negara-negara G20, tarif pajak korporasi Indonesia paling rendah dengan rata-rata 26,5 persen. Tarif ini diklaim Yustinus, menjadi yang paling rendah di bandingkan OECD rata-rata 23,57 persen dan BRICS rata-rata 26,5 persen.
"Sedikit lebih tinggi dari rata-rata tarif negara-negara ASEAN selisih 1,1 persen saja," imbuhnya.
Sementara itu, terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi layer tertinggi di Indonesia sebesar 35 persen. Tarif PPh OP ini lebih rendah dari Jepang, Eropa, Amerika Serikat, Australia, China, Korea, Afrika Selatan, bahkan India.
Selanjutnya, tarif Pajak Pertambahan Nilai/ Pajak Penjualan, tarif ini juga masih lebih rendah dari rata-rata negara G20 sebesar 15,9 persen dan OECD 19,2 persen, meski melalui UU 7/2021 sudah disesuaikan menjadi 11 persen.
Menurut Yustinus, pemerintah juga menggelontorkan beragam insentif pajak dengan tujuan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan melindungi masyarakat serta pelaku usaha berpenghasilan rendah.
"Harapannya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkatkan penerimaan pajak untuk jangka panjang. Akan tetapi hal itu menimbulkan trade off terhadap tax ratio untuk jangka pendek, di antaranya tarif pajak khusus bagi UMKM. Insentif pajak juga diberikan untuk sektor industri yang tujuannya untuk menarik investasi," ungkap Yustinus.
Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi belanja perpajakan:
2019 : Rp266,3 triliun
2020 : Rp246,5 triliun
2021 : Rp310 triliun
2022 : Rp323,5 triliun
Outlook 2023 Rp352,8 triliun.