Jakarta, IDN Times - Daya tahan rupiah terus diuji sejak pertengahan April hingga kini. Berbagai sentimen global membuat fluktuasi rupiah bak roller coaster. Rupiah mulai ambruk setelah serangan Iran ke Israel pada 14 April lalu.
Serangan balasan atas gempuran Israel ke kantor konsulat Iran di Suriah dua pekan sebelumnya itu menyulut tensi konflik Timur Tengah kian tinggi. Kondisi ini mendorong dolar AS kian perkasa terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Sesekali mata uang Garuda mengalami penguatan meski tak terlalu signifikan. Namun, kemudian rupiah melemah hingga ke level melampaui Rp16.000 per dolar AS. Pada Jumat (14/6/2024), rupiah bahkan ditutup pada level Rp16.412 per dolar AS.
Bagi dunia usaha, volatilitas rupiah ini membebani karena akan mengerek biaya produksi. Apalagi, bagi industri yang masih bergantung pada bahan baku impor seperti manufaktur. Dengan begitu, pengusaha industri akan merogoh kocek lebih dalam hanya untuk belanja bahan baku saja yang notabenenya dari impor sehingga pelaku usaha memerlukan rupiah stabil.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Shinta Kamdani mengatakan, level nilai tukar rupiah saat ini tidak kompetitif bagi pelaku usaha, karena idealnya rupiah itu berada bawah Rp14.000 per dolar AS.
"Pelemahan rupiah angat memberatkan pelaku usaha & akan menciptakan kenaikan biaya overhead produksi bila dibiarkan terlalu lama, khususnya kalau terjadi lebih dari sebulan," ujarnya.