Kebutuhan pokok memang akhirnya menjadi barang yang terbebas dari pengenaan PPN atau pajak. Namun, hal itu bukan berarti pajak untuk sembako tersebut hilang karena Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa pemerintah bakal tetap mengenakan pajak tersebut.
Hal itu diperkuat dengan pernyataan Sri Mulyani saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI pada 13 September silam. Dalam Raker tersebut, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut kembali memastikan bahwa PPN untuk sembako tidak berlaku untuk jenis-jenis sembako yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.
"PPN hanya akan dikenakan untuk barang kebutuhan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, misalnya beras atau daging berkualitas khusus yang berharga mahal," ucap Sri Mulyani kala itu.
Ucapan Sri Mulyani itu konsisten dengan apa yang pernah dia sampaikan di akun Instagram pribadinya (@smindrawati) Juni silam. Kala itu, Sri Mulyani berkesempatan mengunjungi Pasar Santa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dirinya memastikan kepada pedagang yang di sana bahwa sembako yang dikenakan pajak bukan yang dijual di pasar-pasar tradisional.
"Ibu pedagang bumbu menyampaikan kekhawatirannya membaca berita tentang pajak sembako yang dikhawatirkan menaikkan harga jual. Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang di jual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," tulis menteri yang akrab disapa Ani tersebut.
Lebih lanjut Srimulyani menjelaskan pajak tidak akan asal dipungut untuk penerimaan negara. Namun, pajak disusun guna melaksanakan azas keadilan. Sri Mulyani pun kemudian menjelaskan beberapa contoh produk sembako yang bakal dikenai PPN. Produk beras memang akan dikenai pajak, tetapi beras-beras yang dijual di pasar tradisional dipastikan Sri Mulyani tidak akan dikenai pajak.
Adapun beras yang tidak dikenai pajak adalah beras produksi para petani lokal seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, dan lainnya. Beras jenis tersebut dinilai Sri Mulyani merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional.
"Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5 hingga 10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak," kata Sri Mulyani.
Pun halnya dengan daging sapi yang terkena pajak adalah jenis premium seperti Kobe dan Wagyu dengan harga 10 hingga 15 kali lipat dibandingkan harga daging sapi biasa.
"Seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. Itu asas keadilan dalam perpajakan di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," tutur Sri Mulyani.