Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tower listrik. (unsplash.com/Fré Sonneveld)

Jakarta, IDN Times - Korea Selatan (Korsel) akan menaikkan tarif listrik sebesar 5,3 persen. Hal ini dilakukan guna meringankan kerugian yang meningkat di perusahaan energi milik negara, serta ditambah biaya energi global yang tinggi.

Tidak hanya listrik, tarif gas pun turut mengalami kenaikan yang sama. Kkenaikan kedua utilitas tersebut akan berdampak pada inflasi yang sudah tinggi dan biaya hidup di Negeri Ginseng.

Keputusan mengenai kenaikan tarif listrik kuartal kedua tersebut sebenarnya telah dijadwalkan pada Maret. Namun, itu ditunda selama lebih dari sebulan karena kekhawatiran kenaikan harga di tengah perlambatan ekonomi, ditambah adanya protes publik mengenai kenaikan biaya hidup.

1. Laporan kenaikan tarif dan gas di Korsel

Berdasarkan pengumuman pemerintah, kenaikan tarif dan gas sebesar 5,3 persen berarti akan menyebabkan meningkatnya tarif listrik sebesar 8 won (Rp88,5) per kilowatt-jam dan tarif gas sebesar 1,04 won (Rp11) per megajoule. Tarif tersebut akan berlaku mulai Selasa.

Dengan adanya kenaikan tarif, maka empat orang rumah tangga yang menggunakan jumlah rata-rata listrik dan gas, harus membayar masing-masing sekitar 3 ribu won (Rp33 ribu) dan 4.400 won (Rp49 ribu) lebih per bulan.

"Meskipun kami telah menyesuaikan harga listrik dan gas dari tahun lalu hingga awal tahun ini, penyebab kenaikan belum sepenuhnya teratasi," kata Lee Chang-yang, Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korsel pada Senin (15/5/2023), dilansir Korea Herald.

Lee juga menambahkan bahwa kenaikan tersebut untuk menormalkan operasi kedua perusahaan milik negara, yakni Korea Electric Power Corp (KEPCO) dan Korea Gas Corp (Kogas), serta menjamin keberlanjutan pasokan energi.

Lee menekankan bahwa Kepco dan Kogas menderita kerugian operasional akibat harga pasokan energi global yang melonjak, imbas invasi Rusia di Ukraina. Selain itu, sulit bagi pemerintah jika mengatasi krisis hanya dengan upaya kedua perusahaan tersebut.

2. Upaya Korsel dalam meminimalisir imbas kenaikan utilitas negara

Ilustrasi bendera Korea Selatan. (unsplash.com/Daniel Bernard)

Tercatat, bahwa kerugian KEPCO dari 2021 meningkat menjadi 38,5 triliun won (sekitar Rp426 triliun). Sementara itu, Kogas memiliki pembayaran yang tidak tertagih pada akhir Maret sebesar 11,6 triliun won (sekitar Rp128,3 triliun). Hal tersebut mengacu pada jumlah impor gas alam yang tidak ditanggung oleh tagihan gas.

Meski begitu, pemerintah Korsel akan memberikan langkah-langkah dukungan guna melindungi rumah tangga yang rentan secara ekonomi, dengan syarat penggunaannya tetap di bawah jumlah utilitas rata-rata. Pihaknya juga akan memperluas skema voucher energi, serta jangkauan penerima dengan jumlah total sebesar 7,5 persen.

3. Inflasi Korsel saat ini

Ilustrasi mata uang won Korea Selatan. (pixabay.com/manseok_Kim)

Kenaikan harga utilitas listrik dan gas diperkirakan akan mempengaruhi inflasi. Meski begitu, indeks harga konsumen telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan dalam beberapa bulan terakhir, setelah sebelumnya sempat memuncak pada level tertinggi dalam 24 tahun terakhir pada Juli tahun lalu sebesar 6,3 persen.

Kendati, inflasi tahun ini di Korsel berada di 3,7 persen pada April. Namun, angka tersebut diharapkan dapat berada di sekitar 2 persen sesuai dengan target Bank Sentral Korea.

4. Dampak kenaikan terhadap penilaian kinerja Presiden Yoon Suk Yeol

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol. (instagram.com/sukyeol.yoon)

Dikutip dari Reuters, Pemerintahan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol memperingati tahun pertamanya menjabat pada minggu lalu, di tengah peringkat kepuasaan masyarakat yang rendah.

Hal ini disebabkan ketidaksetujuan masyarakat Korsel akan kenaikan tarif listrik dan gas. Hal tersebut dianggap warga akan berdampak pada kerugian di sektor rumah tangga karena meningkatnya biaya hidup.

Ini ditambah dengan jajak pendapat terbaru oleh Gallup Korea di tengah pemilihan parlemen yang akan digelar sekitar 11 bulan lagi. Dilaporkan pada Jumat lalu, bahwa ketidaksetujuan pada Presiden Yoon mencapai 59 persen.

Persentase tersebut jauh melampaui peringkat persetujuan, yakni sebesar 35 persen, serta merefleksikan beban politik yang dihadapi pemerintah Korsel saat ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team