Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi masak di rumah (pexels.com/Jep Gambardella)
ilustrasi masak di rumah (pexels.com/Jep Gambardella)

Jakarta, IDN Times - Jumlah orang yang memasak di rumah di Amerika Serikat (AS) kini menyentuh titik tertinggi sejak pandemi COVID-19 pada 2020, menurut laporan Campbell Soup Company (Campbell’s). CEO Campbell’s, Mick Beekhuizen, mengatakan lonjakan ini terjadi di semua kelompok pendapatan, tanpa terkecuali. Ia menyebut, kenaikan konsumsi makanan dan minuman di rumah dipicu oleh kebutuhan akan nilai, kualitas, dan kenyamanan.

Pola ini mengingatkan pada masa awal pandemi, ketika ketidakpastian ekonomi mendorong masyarakat beralih ke aktivitas rumah tangga, termasuk memasak sendiri.

“Konsumen memasak di rumah pada tingkat tertinggi sejak awal 2020,” kata Beekhuizen pada Senin (2/6/2025), dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (3/6/2025).

1. Pengeluaran konsumen AS anjlok karena dampak ekonomi pandemi

ilustrasi belanja di supermarket (pexels.com/Jack Sparrow)

Selama pandemi, pengeluaran masyarakat AS mengalami perubahan besar, termasuk pada sektor makanan. Biro Statistik Tenaga Kerja AS mencatat pengangguran di kuartal keempat 2020 melonjak hingga 10,8 juta orang, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, pengeluaran tahunan konsumen turun rata-rata 2,7 persen.

Penurunan terbesar terjadi pada sektor makanan di luar rumah dan transportasi umum, dua hal yang dianggap tidak lagi mendesak selama krisis berlangsung. Kebutuhan dasar seperti makanan rumahan menjadi prioritas utama. Menurut The Independent, masyarakat cenderung mengurangi belanja untuk kebutuhan sekunder akibat ketidakpastian ekonomi global.

Perubahan ini mendorong lonjakan konsumsi makanan di rumah, yang kini terlihat kembali dalam tren terbaru Campbell’s. Masyarakat lebih mengutamakan stabilitas pengeluaran, khususnya di tengah inflasi dan tarif baru yang diberlakukan.

2. Tarif impor Trump picu kecemasan pasar dan resesi

ilustrasi resesi (IDN Times/Esti Suryani)

Presiden AS Donald Trump memicu gejolak baru setelah mengumumkan tarif dasar 10 persen untuk semua barang impor pada 2 April, yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan,” menurut The Independent. Negara-negara sekutu AS ikut kena dampak, meski sebagian besar tarif akhirnya ditunda selama 90 hari setelah pasar saham mengalami tekanan besar.

Langkah itu mengundang kekhawatiran dari banyak pihak, termasuk ekonom dan pelaku pasar. Sentimen negatif langsung merebak karena tarif dianggap berlebihan di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil. Jajak pendapat The Economist dan YouGov mencatat bahwa 56 persen warga AS merasa kebijakan tarif Trump terlalu ekstrem.

Lebih dari separuh responden, tepatnya 53 persen, menilai kondisi ekonomi AS semakin buruk. CNBC Internasional melaporkan bahwa Indeks Sentimen Konsumen Universitas Michigan mencapai titik terendahnya bulan lalu, memperkuat suasana pesimis di tengah masyarakat.

3. Penjualan produk utama Campbell's melonjak, makanan ringan justru merosot

ilustrasi produk Campbell’s (pexels.com/Anastasiya Badun)

Kinerja Campbell’s mengalami lonjakan pada segmen makanan dan minuman, dengan penjualan naik 15 persen menjadi 1,5 miliar dolar AS di kuartal III. Pertumbuhan itu didorong akuisisi Sovos Brands, pemilik merek saus premium Rao’s, pada 2024. Merek sup seperti Pace, Pacific, dan Swanson mencatat kenaikan konsumsi sebesar 2 persen dan mempertahankan pangsa pasar mereka.

Namun, tren sebaliknya terjadi pada lini makanan ringan. Penjualannya turun 8 persen menjadi 1 miliar dolar AS, dengan tantangan besar dialami oleh merek kerupuk Goldfish. Produk andalan tersebut belum kembali ke tren pertumbuhan seperti sebelumnya.

Chief Financial Officer (CFO) Campbell’s menyatakan keyakinannya terhadap prospek makanan ringan ke depan.

“Kami tetap yakin dengan kekuatan portofolio Makanan Ringan kami dan terus mengambil langkah untuk mendapatkan kembali momentum kami,” kata CFO Campbell’s Carrie Anderson, dikutip dari Food Dive, Selasa (3/6/2025).

Perusahaan juga tengah memantau efek kebijakan tarif terhadap bahan impor penting, termasuk baja pelat timah dan minyak kanola. Biaya tambahan ini diperkirakan bisa menggerus pendapatan tahunan hingga 5 sen per saham.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team