Mau Tambah Utang, PGEO Disarankan Perbaiki Kinerja Operasional

Jakarta, IDN Times - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) atau PGE dinilai perlu memperbaiki kinerja operasionalnya di tengah rencana menerbitkan surat utang berwawasan hijau (green bonds) untuk membayar utang jangka pendek alias refinancing.
Pengamat Energi, Ahmad Kurtubi menyatakan, saat ini masih ada sejumlah persoalan yang terjadi pada bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Menurut dia, PGE mesti melakukan perbaikan terhadap kinerja beberapa PLTP yang belum menghasilkan secara optimal.
Salah satunya adalah PLTP Karaha yang disebut Kurtubi belum mampu untung lantaran punya beban tinggi. Hal itu disebabkan oleh teknologi yang digunakan cenderung tertinggal dibandingkan pengembangan panas bumi di negara lain.
"Permasalahan terutama dari sisi hulu yang memang masih belum efisien. Jadi harus dikembangkan dulu teknologinya," ucap Kurtubi kepada media, dikutip Senin (8/5/2023).
1. Pengembangan PLTP dalam negeri lambat
Sementara itu, dari sisi industri, Kurtubi menilai bahwa pengembangan PLTP di dalam negeri sangat lambat. Hal itu tidak seharusnya terjadi mengingat secara teknis umum, proses eksplorasi dan eksploitasinya sama dengan migas, yakni pengeboran.
"Padahal Pertamina ahli dalam hal ini, tapi kenapa sulit untuk mengembangkan bisnis geothermal-nya," kata Kurtubi.
2. Indonesia bisa mencontoh Islandia
Kurtubi pun memandang PGEO dan Indonesia perlu belajar memanfaatkan dan mengembangan energi panas bumi dari Islandia. Islandia memiliki sumber daya manusia (SDM) mumpuni untuk pengembangan panas bumi dan membuatnya menjadi sebuah keuntungan.
"Saya melihat seharusnya ada investasi untuk meningkatkan kualitas SDM-nya sehingga dapat mengembangkan teknologi dan berdampak pada efisiensi," ujar Kurtubi.
3. Operasional PLTP Karaha terus merugi
Dalam laporan keuangan PGEO tercantum bahwa operasional PLTP Karaha terus membukukan kerugian. PLTP Karaha mencatatkan rugi tahun berjalan sepanjang 2020–2022 masing-masing sebesar 13,73 juta dolar AS, 12,52 juta dolar AS, dan 9,74 juta dolar AS.
Hal ini diakibatkan oleh beban pokok pendapatan PLTP Karaha yang tinggi dengan nilai mencapai 15,06 juta dolar AS pada 2020, 16,24 juta dolar AS pada 2021, dan 15,44 juta dolar AS pada 2022.
Di sisi lain, pendapatan usaha hasil penjualan listrik dari PLTP Karaha pada periode yang sama hanya sekitar 7,32 juta dolar AS (2020), 6,94 juta dolar AS (2021), dan 7,05 juta dolar AS (2022).
Dengan begitu, rasio biaya terhadap pendapatan (BOPO) PLTP Karaha senilai 205,74 persen, 234 persen, dan 219,01 persen. Padahal BOPO yang baik adalah maksimal 80-85 persen.
Melansir laman resmi perseroan, PLTP Karaha Unit I berkapasitas 30 MW dan telah beroperasi secara komersil pada 6 April 2018. Adapun total investasi pembangkit listrik milik anak usaha Pertamina tersebut mendekati 200 juta dolar AS.