Ilustrasi mengisi BBM. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Dilansir dari Antara, pada Juni 2019, pemerintah melakukan uji coba jalan tiga unit truk dan delapan kendaraan penumpang diesel dengan jarak tempuh 40 ribu dan 50 ribu kilometer.
Kendaraan itu diuji coba untuk membuktikan penggunaan B30 tidak mempengaruhi kinerja mesin diesel. Penggunaan B30 diklaim mampu menambah konsumsi crude palm oil (CPO) domestik antara 9-10 juta ton dan menghemat impor minyak solar sebesar 55 juta barel per tahun.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa lingkup kegiatan Road Test B30 terdiri dari pengujian kualitas bahan bakar, kualitas pelumas, merit rating komponen mesin, stabilitas penyimpanan pada kondisi luar ruangan bersuhu dingin, penyiapan dan blending bahan bakar, kajian manajemen kebutuhan bahan bakar, uji konsumsi bahan bakar, uji unjuk kerja kendaraan, uji tingkat penyumbatan pada filter bahan bakar, hingga uji presiptasi pada kendaraan (starter mobil dalam kondisi dingin).
"Uji coba B30 bisa disebut gagal, salah satunya jika filter tangki tidak bisa bekerja sesuai dengan yang disarankan, misalnya filter bahan bakar dibuat untuk 10.000 kilometer tapi pada saat uji jalan B30 ditemukan di 6.000 kilometer bermasalah berarti itu gagal," tutur Dadan.
Saat ini pemerintah masih melakukan sejumlah evaluasi terkait uji coba tersebut yang nantinya akan menjadi landasan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan terkait penggunaan B30, baik itu untuk kepentingan transportasi, industri mau pun pertambangan.
"Sekarang kami masih evaluasi sambil jalan (uji coba)," ujar Arcandra.
Merujuk Peraturan Menteri ESDM tentang kewajiban (mandatory) penggunaan bahan bakar nabati (BNN), penggunaan B30 dijadwalkan pada Januari 2020. Penerapan mandatory itu untuk mengurangi ketergantungan impor dan menghemat devisa, serta menyediakan BBM yang ramah lingkungan.
Namun, keberlanjutan biodiesel menuju B30, B50 dan B100 patut dipertanyakan. Abra menilai produksi dianggap B20 menolong migas padahal membuat penggunan BBM turun 4,1 persen.
“Karena minyak mentah dibeli Pertamina. Bukan Pertamina kurangi impor karena kebanyakan produksi B20. Karena pasokan minyak mentah dalam negeri banyak,” ucapnya.
Ia khawatir ada pihak yang memberitahu Presiden Jokowi dan membuatnya percaya bahwa penurunan defisit migas karena faktor B20.
“Sehingga didorong B50. Padahal harus dilihat berapa persen pengaruh B20 terhadap minyak migas, presentasenya belum ada. Kalau B20 misal ada angka menyumbang 50 persen penurunan defisit migas, itu baru bisa dijustifikasi peningkatan B30 dan B50,” sebut Abra.