Infografis Membaca Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mencatat sejumlah risiko yang mampu mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari banyak faktor penghambat, Yudo mengategorikannya menjadi enam faktor yang disebutnya sebagai '3 C dan 3 F'.
C yang pertama adalah COVID-19. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu tentu menjadi momok bagi perekonomian Indonesia. Meskipun setelah varian Omicron, penambahan kasus COVID-19 di Indonesia menurun drastis, namun pengetahuan mengenai virus ini sangat jauh dari sempurna.
"Faktor COVID-19 ini kan jangka panjang ya. Kita ingat 2020 dan 2021 silam tidak sedikit pekerja yang harus kehilangan mata pencahariannya. Itu kan meninggalkan efek yang panjang,” kata Yudo kepada IDN Times, beberapa waktu lalu.
Faktor C kedua, kata Yudo, yakni China. Implementasi kebijakan nol COVID-19 yang diterapkan oleh China, berdampak terhadap harga komoditas global. “China masih menerapkan kebijakan nol COVID-19 ya. Ini berdampak terhadap stok supply chain yang akhirnya terhambat,” kata Yudo.
Selanjutnya, Yudo menyebut conflict atau konflik sebagai faktor C yang ketiga. Dia menyoroti konflik antara Rusia dan Ukraina yang sedikit banyak berpengaruh terhadap Indonesia.
“Meskipun, secara implikasi langsung terhadap Indonesia ya kalau kita lihat datanya relatif minimal, Rusia itu sendiri kan merupakan negara trading partner dengan Indonesia dengan urutan ke-23 ya. Sedangkan, Ukraina itu berada di urutan ke-44. Namun, ekonomi itu kan seperti bejana berhubungan ya. Bisa saja dari Rusia maupun Ukraina kita tidak terdampak langsung namun bisa saja dari China, AS, dan sejumlah negara di eropa lainnya,” ujar Yudo.
Selain faktor C, menurut Yudo, masih tersisa 3 F. Faktor F yang pertama adalah fuel alias bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM yang cukup tinggi imbas dari konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina cukup berdampak terhadap perekonomian dalam negeri.
“Untuk APBN ada dua sisi ya. Ada sisi menguntungkan dan ada juga sisi yang tidak menguntungkan seperti beban subsidi yang membengkak. Risiko menaikkan BBM mau gak mau harus dihadapi oleh pemerintah,” kata Yudo.
Food atau makanan menjadi F yang kedua. Ketersediaan pangan memang juga dipengaruhi dengan adanya konflik. Rusia dan Ukraina merupakan negara eksportir sejumlah bahan pangan terbesar di dunia. Sejumlah negara akhirnya melakukan pengetatan ekspor komoditas.
Kemudian, China yang juga pada akhirnya melakukan pengetatan ekspor pupuk. Disusul oleh India bahkan Indonesia yang juga ikut menerapkan kebijakan pengetatan ekspor, khususnya crude palm oil (CPO).
“Waktu di 2020 kita ingat setiap negara juga sempat melarang ekspor peralatan Kesehatan ya. Di saat dunia membutuhkan kerja sama global yang terjadi justru perspektif individualis muncul. Nah, ini yang perlu diwaspadai,” kata Yudo.
F yang terakhir, adalah Fed Rate, yakni rate yang dirilis oleh The Fed. Tidak bisa dimungkiri stimulus di Amerika Serikat berdampak cukup besar terhadap Indonesia dengan angka yang mencapai sekitar Rp1,9 triliun atau 25 persen dari GDP tiba tiba mendorong demand lebih cepat dari supply yang ada.
“Alhasil, inflasi naik dan mau gak mau fed rate juga naik terus. Awal Mei naik 50 basis poin. Efeknya nanti ya pasti akan berdampak terhadap pasar keuangan di Indonesia. Itulah 3 F dan 3 C yang menjadi downside risk untuk Indonesia,” katanya.